Catatan Popular

Ahad, 1 April 2012

Nikahi Pria di Luar Komunitas, Siap Dibuang dari Keluarga




YUKEMI KOTO/FAJAR
MASIH PERAWAN. Makawiyyah melakoni aktivitasnya sebagai tukang jahit. Dia pasrah belum mendapat jodoh hingga saat ini.
Keturunan Sayyed dan Al Aidid di Cikoang, Takalar, punya cara unik dalam melestarikan keturunan mereka. Anak gadis mereka tidak diperkenankan menikah dengan non-sayyed (di luar keturunan mereka). Kenapa?

Laporan: Yukemi Koto, Takalar
SEKILAS tidak ada hal yang berbeda ketika pertama kali menginjakkan kaki di Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Hanya perlu sedikit usaha untuk menempuh jarak sekira 16 kilometer dari pusat Kota Takalar untuk menemukan komunitas Sayyed dan Al Aidid yang mendiami desa tersebut.

Sama seperti kehidupan masyarakat desa lainnya, di Desa Cikoang, penduduknya juga hidup laiknya masyarakat pada umumnya.

Desa Cikoang terbagi atas empat dusun dengan jumlah penduduk mencapai 4.328 jiwa(statistik 2011). Keempat dusun tersebut adalah Dusun Bilabilaya, Jonggoa, Bontobaru, dan Dusun Cikoang. Sekira 70 persen dari jumlah penduduk merupakan keturunan Sayyed. Selebihnya, merupakan masyarakat biasa dan sebagian lainnya termasuk pengikut Sayyed. Aktivitas penduduk pada umumnya adalah bertani, nelayan, pegawai negeri, dan pekerjaan lainnya.

Yang membedakan adalah adat istiadat setempat. Ada aturan tidak tertulis yang dipahami seluruh warga di desa tersebut. Yakni aturan pernikahan dalam komunitas Sayyed.

Aturan ini menjadi budaya turun-temurun keturunan Sayyed dalam menentukan jodoh anak perempuan mereka. Untuk menjaga keutuhan identitas mereka, maka para perempuan keturunan Sayyed atau yang dikenal dengan Syarifah tidak boleh menikah dengan kaum pria di luar komunitasnya.

Pemangku Adat Laikang, Andi Sukwansyah A Lomba Karaeng Nojeng mengatakan, perempuan ibarat sebuah wadah suci. Maka, jika Syarifah berani menikah dengan pria non-sayyed dinilai telah melanggar aturan. Darah keturunan mereka dianggap tak lagi murni atau telah tercemar dengan darah non-sayyed.

"Perempuan yang menikah dengan non-sayyed dengan sendirinya menjadi terbuang dari keluarga. Ia dianggap sudah mati," kata Karaeng Nojeng, Selasa, 27 Maret.

Karaeng Nojeng menjelaskan, hukuman yang diberikan terhadap pelanggar aturan kini turut mengikuti perkembangan zaman. Dulu, siapa pun yang melanggar aturan tersebut, akan dibunuh. Namun seiring berlakunya peraturan hukum di Indonesia, maka hukuman tersebut berubah menjadi hukuman sosial. Pelanggar aturan dianggap sudah tidak ada lagi di muka bumi ini.

"Hukuman sosial ini lebih berat. Yang melanggar dibuang dan tidak diterima lagi dalam komunitas sayyed. Dianggap tidak ada meskipun berpapasan di jalan," lanjutnya.

Aturan tersebut rupanya tidak hanya berlaku bagi anak gadis. Orang tua sang gadis yang ikut mendukung perbuatan anaknya dengan merestui pernikahan sang gadis, juga ikut terkena hukuman tersebut. Akibatnya, satu rumpun keluarga bisa terbuang dari komunitas Sayyed.

"Aturan ini berlaku untuk semua keturunan Sayyed di mana pun berada. Tidak hanya yang berdiam di Desa Cikoang, tapi di seluruh penjuru bumi. Mereka tidak bisa berbohong, karena silsilah keturunan Sayyed tercatat dengan rapi. Ada juga dewan lembaga adat yang menelusuri penyimpangan yang dilakukan oleh keturunan Sayyed untuk tetap menjaga kelestarian keturunan kami. Ini masalah keyakinan. Tanggung jawab di akhirat," tegas dia.

Imam Desa Cikoang, Tuan Kasim yang ditemui FAJAR juga menuturkan awal mula terciptanya aturan pernikahan keturunan Sayyed tersebut di Desa Cikoang. Alkisah pada tahun 1641 Masehi, Sayyed Jalaluddin yang berasal dari Aceh, menginjakkan kakinya di Desa Cikoang setelah sempat singgah terlebih dahulu di Banjar, Kalimantan. Singkat cerita, Sayyed Jalaluddin yang beristrikan seorang gadis keturunan raja di Gowa dikaruniai tiga anak. Mereka adalah Sayyed Baginda Umar, Sayyed Sahabuddin, dan Syarifah Nur yang mendiami Desa Cikoang.

Kedua putra Sayyed Jalaluddin meneruskan keturunan Sayyed dengan menikahi masyarakat setempat. Hanya si bungsu Syarifah Nur yang hingga menghembuskan nafas terakhirnya belum juga mendapat jodoh.

"Pada saat itu belum ada pria keturunan Sayyed yang ada di sini. Sebab Syarifah Nur merupakan perempuan keturunan pertama yang membawa garis keturunan Sayyed di Desa Cikoang," jelas Tuan Kasim.

Karena kuatnya aturan tersebut, maka hingga kini banyak gadis Syarifah lebih memilih untuk menjadi toa lolobangko atau perawan tua. Namun tidak sedikit pula yang melanggar aturan tersebut, dengan konsekuensi terbuang dari komunitas Sayyed.

Syarifah Makawiyah (52) dan Syarifah Kalisong (38) misalnya, adalah dua perempuan yang mau menceritakan sedikit jalan hidup mereka kepada penulis. Makawiyah yang sehari-hari sebagai penjahit, dan Kalisong yang bekerja sebagai penenun, sangat patuh memegang aturan pernikahan keturunan Sayyed. Hingga kini, mereka tetap setia menjalani kehidupan sebagai perempuan lajang.

"Inilah mungkin yang dinamakan belum jodoh. Sejak remaja, saya sudah berkenalan dengan banyak pemuda. Tapi sampai sekarang belum ada jodohnya," papar Makawiyah sembari tertawa lepas.

Di usianya yang senja, Makawiyah tidak sendiri. Kalisong tetangganya juga bernasib sama. Hanya saja, Kalisong lebih memasrahkan jodohnya di tangan orang tuanya. Ia tidak ingin dianggap durhaka dengan mengabaikan perintah orang tua.

"Yang datang cukup banyak. Tapi orang tua belum menemukan yang sesuai untuk saya. Ya saya ikut saja dengan keinginan orang tua. Toh jodoh sudah ada yang mengatur," ucap Kalisong yang sehari-hari lebih senang memakai rok panjang.

Kepala Desa Cikoang, Syamsuddin Aidid pun tidak mempermasalahkan aturan yang berlaku di desanya. Menurutnya, aturan tersebut hal yang wajib diikuti seluruh keturunan Sayyed. Orang tua gadis, telah menanamkan pengertian akan kewajiban untuk melestarikan adat keturunan Sayyed di muka bumi.

"Tidak ada yang protes, karena sejak kecil sudah diajarkan dan diberikan pemahaman. Kalau melanggar, mereka juga sudah tahu konsekuensi yang diperoleh," terang Syamsuddin.

Untuk pria, bisa dianggap lebih beruntung dalam urusan jodoh. Pria keturunan Sayyed bisa menikahi gadis pujaannya yang berasal dari kalangan mana pun. Sayyed Baharu Zaman, misalnya. Pria berusia 50 tahun ini mempersunting gadis pujaannya non-sayyed. Kenapa pria sayyed bebas menikahi gadis mana pun? Baharu menjawab singkat, karena pria Sayyed dianggap sebagai pembawa garis keturunan Sayyed yang kuat.

"Pria Sayyed juga tidak dilarang untuk berpoligami, sama seperti masyarakat lainnya. Kalau Syarifah menikahi pria non-sayyed justru dianggap berzina. Pernikahannya pun dinyatakan tidak sah dan diusir dari komunitas Sayyed," kata Baharu.

Baharu memperlihatkan sebuah kitab usang yang menceritakan aturan pernikahan Sayyed. Nama kitab tersebut, yakni Qhawanina Syar'iyah. Tulisan Arab yang terangkai dalam kitab tersebut adalah rangkaian huruf Arab gundul. Uniknya, Baharu mengatakan tulisan Arab tersebut dapat terbaca dalam Bahasa Indonesia. Dalam pasal 19 pada kitab tersebut, tercantum aturan jelas mengenai larangan perkawinan Syarifah dengan non-sayyed.

Namun sekali lagi, Baharu lebih menekankan, urusan jodoh, rezeki, dan ajal memang di tangan Tuhan. Dengan adanya aturan seperti ini, komunitas sayyed pun tetap yakin urusan jodoh adalah urusan Tuhan. Mereka hanya berupaya melestarikan keturunan mereka hingga akhir zaman dengan menegakkan aturan pernikahan tersebut. (*/si