SEKURANG-KURANGNYA ada dua jenis "wirid" atau disebut juga dengan "Ratib" yang sangat berpengaruh di kalangan orang-orang Arab, terutama golongan "Habaib" (Habib-Habib atau Saiyid/Syed) yang datang ke dunia Melayu. Yang pertama disebut "Ratib Al-Haddad" dan yang satu lagi dinamakan "Ratib Al-Attas". Sebahagian besar yang diketahui oleh para pengamalnya, "Ratib Al-Haddad" ialah satu amalan yang dapat menenangkan jiwa, penuh berkat, terdapat beberapa fadhilat yang kadang-kadang menyalahi adat. Wirid atau ratib yang tersebut adalah disusun berdasarkan ayat-ayat al-Quran, doa, selawat, istighfar, dan sejenisnya. Yang pertama mengamalkannya ialah Al-Quthub al-Ghauts al-Habib as-Saiyid 'Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad Ba'alawi al-Huseini al-Hadhrami asy-Syafi'ie. Ulama besar keturunan Nabi Muhammad S.A.W ini dilahirkan di Tarim, Yaman, pada 5 Safar 1044 H/30 Julai 1634 M dan wafat pada 7 Zulqa'idah 1132 H/10 September 1720 M.
Artikel ini bukan menceritakan riwayat hidup ulama yang tersebut tetapi adalah lebih memperkenalkan satu-satunya manuskrip bahasa Melayu yang membahas secara mendalam tentang "Ratib Al-Haddad". Perlu saya sebutkan di sini bahawa hingga kini belum dijumpai "Ratib Al-Haddad" bahasan yang mendalam sepertinya dalam bentuk cetakan bahasa Melayu. Sungguh pun demikian, belum begitu lama, terdapat yang diusahakan oleh Syed Ahmad bin Muhammad bin Zain bin Semit cetakan yang ditulis dalam bahasa Arab, cetakan yang kedua Zulhijjah 1417 H/1997 M, diterbitkan oleh Pustaka Nasional Singapura. Manuskrip yang dalam bahasa Melayu diselesaikan pada hari Ahad, jam 4.00 petang, bulan 24 Syawal 1224 H/2 Disember 1809 M. Disalin kembali tahun 1317 H/1899 M. Judul lengkap manuskrip dalam bahasa Arab "Sabil al-Hidayah wa ar-Rasyad fi Syarh ar-Ratib al-Haddad". Judul terjemahan dalam bahasa Melayu "Jalan Pertunjuk dan Pengajaran Pada Menyatakan Faedah Kelebihan Quthub Bangsa Haddad". Karangan asal dalam bahasa Arab dilakukan oleh keturunan ulama tersebut, beliau ialah Habib 'Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin 'Abdullah bin 'Alawi al-Haddad. Nama penterjemah dari bahasa Arab ke bahasa Melayu tidak dinyatakan, kemungkinan adalah diterjemahkan oleh yang mengaku pemiliknya bernama Ahmad Salim ibnu al-Marhum Syeikh Mat Juban Pontianak, Kampung Melayu.
Selain yang diberi judul di atas terdapat lagi manuskrip dalam bahasa Melayu, tetapi bahasan kandungannya berbeza, ialah "Kaifiyat Qiraat ar-Ratib al-Haddad". Judul ini diterjemah oleh Saiyid Ahmad bin Muhammad al-'Aidrus, tidak terdapat tarikh selesai penterjemahan. Manuskrip ini bekas dimiliki oleh Ahmad bin 'Abdullah bin Qadhi. Manuskrip "Kaifiyat Qiraat ar-Ratib al-Haddad" lebih bercorak cara-cara mengamalkan ratib, tanpa mengemukakan dalil. Sedang "Sabil al-Hidayah wa ar-Rasyad" (manuskrip yang pertama) secara garis besar kandungannya ialah lebih mengutamakan dalil-dalil al-Quran dan hadis lebih lengkap untuk membuktikan bahawa amalan yang diajar oleh Quthub al-Ghauts al-Habib as-Saiyid 'Abdullah bin 'Alawi al-Haddad adalah tidak menyimpang dari ajaran Islam yang diajarkan oleh datuk nenek beliau, iaitu Nabi Muhammad S.A.W. Jika kita membuat perbandingan kandungan yang terperinci antara manuskrip bahasa Melayu dengan yang bahasa Arab cetakan Pustaka Nasional Singapura ternyata ada beberapa perkara yang dibicarakan dalam manuskrip Melayu tidak terdapat dalam yang bahasa Arab. Demikian juga sebaliknya.
Dalam manuskrip yang bahasa Melayu dicatatkan tulisan Saiyid 'Abdullah bin 'Alawi al-Haddad dalam "Kitab Manaqib", kata beliau, "Barangsiapa orang yang membiasakan atas ratib kami, nescaya dikurniai [oleh] Allah Ta'ala akan dia sebaik-baik kesudahan mati di dalam kalimah ... ". Yang dimaksudkan di sini ialah mati dalam agama Islam dan beriman. Sebagaimana terdapat pada salah satu doa dalam ratib, yang terjemahannya "... matikan kami dalam agama Islam". Doa ini pula ada hubungkait dengan doa dalam ratib juga, yang maksudnya, "Kami semata-mata ridha terhadap Allah, tuhan kami, kami suka agama Islam, adalah agama kami dan Nabi Muhammad S.A.W, Nabi kami". Terhadap Allah, Islam dan Nabi adalah sangat ditekankan dalam ilmu 'aqidah supaya beri'tiqad dengan jazam dan betul. Perlulah diperhatikan, kerana sewaktu kita masuk kubur yang tersebut adalah pertama-tama perkara yang ditanya. Selain fadhilah untuk menghadapi sakarat al-maut, beliau sebut juga bahawa "Ratib al-Haddad" berfungsi "Dipeliharakan [oleh] Allah Ta'ala daripada terbakar, dan kecurian, dan tiada terbunuh orang akan dia ... Ratib ini dibaca tiap-tiap ditimpa dukacita, nescaya diberi [oleh] Allah kesukaan". Semua yang diriwayatkan bahawa bacaan-bacaan dalam ratib ada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam hadits shahih.
Sebagai bukti "Ratib al-Haddad" sangat berpengaruh, dalam rangka "Majlis Haul Habib as-Saiyid 'Abdullah bin 'Alawi al-Haddad", telah diadakan perhimpunan acara membaca ratib tersebut di Masjid Baitul Aman, di Jalan Damai, Kuala Lumpur, pada malam Sabtu 1 Zulqa'idah 1426 H/3 Disember 2005 M. Yang hadir selain dari seluruh Malaysia, ramai pula yang datang dari Singapura, Brunei Darussalam, Indonesia, India, Yaman, dan negara-negara lainnya. Acara diteruskan ke Batu Pahat (Johor), Temerloh (Pahang) dan Singapura. Selain membaca "Ratib al-Haddad" juga diadakan ceramah yang khusus membicarakan kehebatan dan jasa-jasa besar Saiyid 'Abdullah bin 'Alawi al-Haddad dalam penyebaran Islam. Karya-karya beliau telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa dan tersebar di seluruh dunia.
Catatan Popular
-
kisah teladan para wali Allah dan ahli tasawuf, para sufi Rabiah Al-adawiyah, Al-Ghazali, Al-Jaelani. al hallaj,kata mutiara sufi, tasawuf, ...
-
Dikisahkan Syeikh Abu Hasan As-Syazili berkelana mencari mursyid dan bertemu dengan Syekh Shalih Abi al-Fath al-Wasithi, yaitu syekh yang pa...
-
Beliau adalah seorang Sayyid dan Syarif (julukan khusus untuk keturunan Nabi Muhammad SAW) Imam para Wali dan orang-orang sholeh (Al-Qutub) ...
Sabtu, 14 Mei 2011
Syarh Ratib Al-Haddad - Dari Yaman ke Dunia Melayu
Zakat untuk Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib
Zakat untuk Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib
Sekelompok keturunan mulia dari Bani Hasyim dan Abdul Mutholib beserta para budak mereka hidup dalam suatu negara terpencil dalam keadaan fakir dan miskin. Hak mereka yang berupa: khumusul khumus (seperlima khumus) dari baitul mal atau masholih (pemberian-pemberian dengan pertimbangan kemaslahatan) yang dapat mencukupi kehidupan mereka hingga mereka tidak perlu meminta-minta, tidak tersalurkan, karena, disamping mereka hidup terpencil (khumul), mereka juga dilarang untuk menerima sodaqoh.
Pertanyaan:
Andaikata mereka meminta zakat kepada orang-orang kaya yang hidup di negeri mereka guna mencukupi kebutuhan diri dan keluarga mereka, bolehkah para hartawan tersebut memberinya?
Jawab:
Secara umum, pendapat yang masyhur dalam Madzhab Syafi'i tidak membolehkan. Namun Imam Abu Said Al-Harawi, seorang hakim, membolehkannya dengan syarat bahwa mereka tidak memperoleh bagian dari khumûsul khumûs, tetapi, jika mereka menerimanya, maka pemberian zakat itu tidak dibolehkan. Imam Muhammad bin Muhammad bin Yahya dan Al-Allamah Fakhuruddin Ar-Razi memfatwakan hal yang sama, dan menurut Abu Syukail fatwa tersebut benar.
Dalam kitab Al-Khodim, setelah membawakan pendapat Imam Rafi'i dalam masalah ini, Imam Zarkasyi menjelaskan bahwa Imam Isthokhori, Harawi, dan Ibnu Yahya membolehkan (penerj. mereka menerima zakat). Masalah ini juga dibahas dalam kitab Al-Hilyah yang ditulis As-Syasyi.
Abu Hafs Naru Sami mengatakan bahwa zakat boleh diberikan kepada orang yang juga berhak memperoleh bagian dari harta rampasan perang dan fai. Dikatakan dalam cacatan kaki Ibnu Abi Hurairah, "Adapun pada masa ini, mereka (penerj. Bani Hasyim dan Abdul Muttholib) tidak memperoleh bagian dari harta rampasan perang, jadi, kita tidak boleh melarang mereka menerima zakat, karena larangan itu akan menyebabkan mereka hidup terlantar, sebab, di zaman ini, mereka dan kaum fakir miskin menghadapi persoalan sama. Jadi, mereka juga berhak memperoleh bagian dari zakat sebagaimana kaum fakir miskin."
As-Syarif Abdul Abbas Al-Farra', dalam kitabnya Mu'tamadut Tanbih, menuliskan bahwa seseorang yang telah menghadiri majlis Imam Fakhruddin Ar-Razi di salah satu negeri di Khurasan atau Khawarizm menceritakan kepadanya bahwa sekelompok Alawiyin mengeluh karena tidak menerima hak mereka dari baitul mal, sedangkan mereka dalam keadaan terpaksa, kemudian Imam Fakhruddin Ar-Razi memberi mereka lebih kurang 100 dinar, dan berkata, "Wahai kaum muslimin, aku telah berfatwa agar kalian memberikan sodaqoh (penerj. wajib) kalian kepada mereka, karena sesungguhnya harta itu halal bagi mereka dan kewajiban kalian pun akan tertunaikan.
Dalam kitab Al-Khodim dikatakan bahwa mereka adalah para imam yang berkedudukan tinggi dan dalil mereka cukup kuat. Ibnu Nahwi, dalam kitabnya Al-'Ajalah, dan Al-Hakim mengutip pendapat Abbas bin Abdul Mutholib bahwa Bani Hasyim dan Abdul Muttholib boleh memberikan zakat mereka kepada sesama mereka. Dalam syarhku, aku telah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar. Wallôhu A'lam.
Pendapat Ulama Lain
Dalam kitab Fathul Ilâhil Mannan, Alam makrifah, Jeddah, cet. ke-1, thn. 1988M/1408 H, hal. 59, sehubungan dengan jawaban Syekh Salim bin Said Bukair Baa Ghaitsan yang membolehkan ahli bait rasulillah menerima zakat jika mereka tidak mendapat bagian dari khumus, Sayid Al-Allamah Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syeik Abubakar bin Salim menulis surat kepadanya, yang isinya: "Alhamdulillah, wa ba'du, jawaban yang telah ditulis oleh Al-Allamah Syekh Salim bin Said adalah sangat benar, dan berbagai dalil yang ia kemukakan dari para imam yang sangat alim, cukup kuat. Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan."
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, Dar el Fikr, hal 106, yang berisi fatwa Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husin bin Umar Al-Masyhur, mufti Hadramaut, disebutkan "Jumhur ulama syafii'yah sepakat untuk melarang seseorang memberikan zakat kepada ahli bait nabi ........ (sampai) pendapat ini yang paling sahih, tapi banyak para ulama dari Madzhab Syafii'yah baik yang dahulu maupun yang datang kemudian membolehkannya jika khumusul khumus tidak sampai kepada mereka.
Di antara para ulama tersebut adalah: Isthokhori, Harawi, Ibnu Yahya, dan Ibnu Abu Hurairah. Dan mereka yang memfatwakan dan mengamalkan fatwanya adalah Fakhrur Razi, Qadhi Husin, Ibnu Syukail, Ibnu Ziyad, Nasyiri, dan Ibnu Muthir. Al-Asykhor mengatakan bahwa mereka yang disebutkan di atas adalah para imam yang agung, ucapannya mempunyai dasar yang kuat, mereka boleh diikuti, dan taklidnya itu terhitung sebagai taklid yang sahih dengan syarat untuk keadaan darurat.
Catatan:
Khumus: seperlima dari harta rampasan perang (ghanimah). Harta yang disisihkan tersebut dibagikan kepada:
Rasulullah,
Kerabat beliau dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib,
Anak yatim,
Kaum fakir miskin, dan
Ibnu Sabil.
(Demikianlah pendapat yang masyhur mengenai khumus menurut Fakhrur Razi dalam Tafsir Al-Kabir, juz 15, hal. 165)
Riwayat Hidup
Tempat Kediaman
Beliau lahir di kota Kholi' Rasyid (Houthoh) tahun 1191 H. Ketika berusia 2 tahun, ayah beliau meninggal dunia. Beliau kemudian diasuh dan dibesarkan oleh ibu dan kakeknya, Sayid Idrus bin Abubakar Al-Jufriy, di kota di Dzi Isbah.
Guru dan Muridnya
Beliau menuntut ilmu dari sejumlah ulama di zamannya, misalnya: Al-Allamah Umar bin Zein bin Smith, Syeikh Abdullah bin Semair, Habib Umar bin Ahmad bin Hasan Al-Haddad, dan Habib Alwi bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf. Syeikh fath beliau dalam (ilmu) dhohir dan bathin adalah Habib Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf.
Beliau memiliki murid-murid yang tersebar ke berbagai penjuru dunia, timur maupun barat. Mereka menyebarluaskan ilmu-ilmu agama dan tasawuf yang telah mereka pelajari dari Habib Hasan. Pernah dikatakan bahwa tidak ada seorang alim, pelajar atau sufi pun di Hadhramaut yang tidak pernah belajar kepada beliau. Di antara murid beliau adalah Sayid Hamid bin Umar bin Muhammad bin Segaf Assegaf dan Sayid Muhsin bin Alwi bin Segaf Assegaf.
Keluasan Ilmunya
Beliau dijuluki Al-Bahr (lautan) karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Ketika mempelajari kitab Mukhtashor At-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syeikh Ali bin Umar bin Qadhi Baktsiir, beliau mengoreksi beberapa hal yang ditulis oleh gurunya sendiri, padahal usia beliau saat itu masih di bawah 20 tahun.
Sewaktu beliau sedang menunaikan ibadah haji, mufti Zubaid, Al-Allamah Sayid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal meminta beliau untuk menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan sifat-sifat salatnya kaum muqarrabin. Permintaan itu beliau kabulkan, dan ternyata risalah itu membuat kagum para ulama dan kaum sufi di Hijaz dan kota-kota lain.
Habib Ahmad Al-Junaid bercerita bahwa ia dan Habib Hasan berkunjung ke kediaman Sayid Ahmad bin Idris, seorang yang sangat alim. Habib Ahmad Al-Junaid lalu membacakan kitab Ar-Rasyafaat, Sayid Ahmad bin Idris pun kemudian menjelaskan bait demi bait dengan mengutip berbagai ayat Quran dan hadis Nabi saw. Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr kemudian membacakan karyanya sendiri, Sholâtul Muqarrabîn. Setelah Sholâtul Muqarrabîn selesai dibacakan, Sayid Ahmad berkata, "Andaikan penulis risalah ini masih hidup, maka sepatutnya perut onta dicambuk agar segera dapat menjumpainya.
"Waktu itu, aku hendak memberitahu mereka, bahwa penulis risalah itu adalah orang yang baru saja membacanya. Namun, Habib Hasan mencegahku," kata Habib Ahmad Al-Junaid. "Mungkin penulisnya hanya sekedar menyifatkan, tidak sungguh-sungguh mengalami apa yang ditulisnya," kata salah seorang murid Sayid Ahmad bin Idris.
"Diamlah engkau, wadah (hanya) akan memercikkan isinya, kata Sayid Ahmad bin Idris .
Mujahadahnya
Habib Hasan selalu berpegang teguh pada sunah nabi, dan berusaha meniti jejak para salafnya. Beliau mengamalkan berbagai salat sunah: salat sunah rawatib maupun salat sunah lainnya. Mulai dari salat khusuf dan kusuf sampai dengan salat tahiyyatul masjid. Mulai dari salat sunnatul wudhu, dhuha 8 rakaat, awwabin 20 rakaat, tahajjud di sebagian besar waktu malam sampai dengan salat witir 11 rakaat di akhir malam. Semua ini beliau kerjakan dengan tekun: siang maupun malam, saat berada di kota maupun ketika bepergian, saat sehat maupun sakit. Sakit tidak pernah mengendurkan semangat ibadah beliau. Apabila tiba saat ibadah, beliau seakan sembuh dari sakitnya. Namun, begitu ibadah selesai dikerjakannya, beliau tampak lemah kembali. Beliau selalu mengerjakan salat lima waktu dengan berjamaah.
Beliau biasanya membaca setengah Quran dalam salat tahajjudnya setiap malam. Kadang kala seluruh Quran beliau khatamkan dalam satu rakaat. Selama hidupnya beliau tidak pernah meninggalkan puasa Dawud, baik pada waktu musim panas maupun dingin, saat berada di kota maupun saat bepergian, ketika sehat maupun sakit. Beliau sering sekali membaca surat Yasin sebanyak 40 kali dalam satu majelis, dan dalam satu atau dua rakaat. Di antara wirid beliau adalah membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 90.000 kali dalam satu rakaat.
Beliau menunaikan ibadah haji lebih dari 7 kali. Beliau sangat sering tawaf di tengah kegelapan malam sambil membaca Quran sampai waktu fajar, terkadang beliau menghatamkannya dalam semalam. Pada waktu dhuha, hari Rabu 23 Dzul Qa'dah 1273 H beliau meninggal dunia di Dzi Isbah, lalu dikuburkan di dekat makam ibunya, di tengah-tengah musholla yang terletak di samping rumahnya.
Sifat Rahmatnya
Berikut adalah sekelumit cerita yang menunjukkan keluhuran budi dan kasih sayang beliau pada makhluk Allah.
Sekelompok keturunan mulia dari Bani Hasyim dan Abdul Mutholib beserta para budak mereka hidup dalam suatu negara terpencil dalam keadaan fakir dan miskin. Hak mereka yang berupa: khumusul khumus (seperlima khumus) dari baitul mal atau masholih (pemberian-pemberian dengan pertimbangan kemaslahatan) yang dapat mencukupi kehidupan mereka hingga mereka tidak perlu meminta-minta, tidak tersalurkan, karena, disamping mereka hidup terpencil (khumul), mereka juga dilarang untuk menerima sodaqoh.
Pertanyaan:
Andaikata mereka meminta zakat kepada orang-orang kaya yang hidup di negeri mereka guna mencukupi kebutuhan diri dan keluarga mereka, bolehkah para hartawan tersebut memberinya?
Jawab:
Secara umum, pendapat yang masyhur dalam Madzhab Syafi'i tidak membolehkan. Namun Imam Abu Said Al-Harawi, seorang hakim, membolehkannya dengan syarat bahwa mereka tidak memperoleh bagian dari khumûsul khumûs, tetapi, jika mereka menerimanya, maka pemberian zakat itu tidak dibolehkan. Imam Muhammad bin Muhammad bin Yahya dan Al-Allamah Fakhuruddin Ar-Razi memfatwakan hal yang sama, dan menurut Abu Syukail fatwa tersebut benar.
Dalam kitab Al-Khodim, setelah membawakan pendapat Imam Rafi'i dalam masalah ini, Imam Zarkasyi menjelaskan bahwa Imam Isthokhori, Harawi, dan Ibnu Yahya membolehkan (penerj. mereka menerima zakat). Masalah ini juga dibahas dalam kitab Al-Hilyah yang ditulis As-Syasyi.
Abu Hafs Naru Sami mengatakan bahwa zakat boleh diberikan kepada orang yang juga berhak memperoleh bagian dari harta rampasan perang dan fai. Dikatakan dalam cacatan kaki Ibnu Abi Hurairah, "Adapun pada masa ini, mereka (penerj. Bani Hasyim dan Abdul Muttholib) tidak memperoleh bagian dari harta rampasan perang, jadi, kita tidak boleh melarang mereka menerima zakat, karena larangan itu akan menyebabkan mereka hidup terlantar, sebab, di zaman ini, mereka dan kaum fakir miskin menghadapi persoalan sama. Jadi, mereka juga berhak memperoleh bagian dari zakat sebagaimana kaum fakir miskin."
As-Syarif Abdul Abbas Al-Farra', dalam kitabnya Mu'tamadut Tanbih, menuliskan bahwa seseorang yang telah menghadiri majlis Imam Fakhruddin Ar-Razi di salah satu negeri di Khurasan atau Khawarizm menceritakan kepadanya bahwa sekelompok Alawiyin mengeluh karena tidak menerima hak mereka dari baitul mal, sedangkan mereka dalam keadaan terpaksa, kemudian Imam Fakhruddin Ar-Razi memberi mereka lebih kurang 100 dinar, dan berkata, "Wahai kaum muslimin, aku telah berfatwa agar kalian memberikan sodaqoh (penerj. wajib) kalian kepada mereka, karena sesungguhnya harta itu halal bagi mereka dan kewajiban kalian pun akan tertunaikan.
Dalam kitab Al-Khodim dikatakan bahwa mereka adalah para imam yang berkedudukan tinggi dan dalil mereka cukup kuat. Ibnu Nahwi, dalam kitabnya Al-'Ajalah, dan Al-Hakim mengutip pendapat Abbas bin Abdul Mutholib bahwa Bani Hasyim dan Abdul Muttholib boleh memberikan zakat mereka kepada sesama mereka. Dalam syarhku, aku telah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar. Wallôhu A'lam.
Pendapat Ulama Lain
Dalam kitab Fathul Ilâhil Mannan, Alam makrifah, Jeddah, cet. ke-1, thn. 1988M/1408 H, hal. 59, sehubungan dengan jawaban Syekh Salim bin Said Bukair Baa Ghaitsan yang membolehkan ahli bait rasulillah menerima zakat jika mereka tidak mendapat bagian dari khumus, Sayid Al-Allamah Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syeik Abubakar bin Salim menulis surat kepadanya, yang isinya: "Alhamdulillah, wa ba'du, jawaban yang telah ditulis oleh Al-Allamah Syekh Salim bin Said adalah sangat benar, dan berbagai dalil yang ia kemukakan dari para imam yang sangat alim, cukup kuat. Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan."
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, Dar el Fikr, hal 106, yang berisi fatwa Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husin bin Umar Al-Masyhur, mufti Hadramaut, disebutkan "Jumhur ulama syafii'yah sepakat untuk melarang seseorang memberikan zakat kepada ahli bait nabi ........ (sampai) pendapat ini yang paling sahih, tapi banyak para ulama dari Madzhab Syafii'yah baik yang dahulu maupun yang datang kemudian membolehkannya jika khumusul khumus tidak sampai kepada mereka.
Di antara para ulama tersebut adalah: Isthokhori, Harawi, Ibnu Yahya, dan Ibnu Abu Hurairah. Dan mereka yang memfatwakan dan mengamalkan fatwanya adalah Fakhrur Razi, Qadhi Husin, Ibnu Syukail, Ibnu Ziyad, Nasyiri, dan Ibnu Muthir. Al-Asykhor mengatakan bahwa mereka yang disebutkan di atas adalah para imam yang agung, ucapannya mempunyai dasar yang kuat, mereka boleh diikuti, dan taklidnya itu terhitung sebagai taklid yang sahih dengan syarat untuk keadaan darurat.
Catatan:
Khumus: seperlima dari harta rampasan perang (ghanimah). Harta yang disisihkan tersebut dibagikan kepada:
Rasulullah,
Kerabat beliau dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib,
Anak yatim,
Kaum fakir miskin, dan
Ibnu Sabil.
(Demikianlah pendapat yang masyhur mengenai khumus menurut Fakhrur Razi dalam Tafsir Al-Kabir, juz 15, hal. 165)
Riwayat Hidup
Tempat Kediaman
Beliau lahir di kota Kholi' Rasyid (Houthoh) tahun 1191 H. Ketika berusia 2 tahun, ayah beliau meninggal dunia. Beliau kemudian diasuh dan dibesarkan oleh ibu dan kakeknya, Sayid Idrus bin Abubakar Al-Jufriy, di kota di Dzi Isbah.
Guru dan Muridnya
Beliau menuntut ilmu dari sejumlah ulama di zamannya, misalnya: Al-Allamah Umar bin Zein bin Smith, Syeikh Abdullah bin Semair, Habib Umar bin Ahmad bin Hasan Al-Haddad, dan Habib Alwi bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf. Syeikh fath beliau dalam (ilmu) dhohir dan bathin adalah Habib Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar Assegaf.
Beliau memiliki murid-murid yang tersebar ke berbagai penjuru dunia, timur maupun barat. Mereka menyebarluaskan ilmu-ilmu agama dan tasawuf yang telah mereka pelajari dari Habib Hasan. Pernah dikatakan bahwa tidak ada seorang alim, pelajar atau sufi pun di Hadhramaut yang tidak pernah belajar kepada beliau. Di antara murid beliau adalah Sayid Hamid bin Umar bin Muhammad bin Segaf Assegaf dan Sayid Muhsin bin Alwi bin Segaf Assegaf.
Keluasan Ilmunya
Beliau dijuluki Al-Bahr (lautan) karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Ketika mempelajari kitab Mukhtashor At-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syeikh Ali bin Umar bin Qadhi Baktsiir, beliau mengoreksi beberapa hal yang ditulis oleh gurunya sendiri, padahal usia beliau saat itu masih di bawah 20 tahun.
Sewaktu beliau sedang menunaikan ibadah haji, mufti Zubaid, Al-Allamah Sayid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal meminta beliau untuk menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan sifat-sifat salatnya kaum muqarrabin. Permintaan itu beliau kabulkan, dan ternyata risalah itu membuat kagum para ulama dan kaum sufi di Hijaz dan kota-kota lain.
Habib Ahmad Al-Junaid bercerita bahwa ia dan Habib Hasan berkunjung ke kediaman Sayid Ahmad bin Idris, seorang yang sangat alim. Habib Ahmad Al-Junaid lalu membacakan kitab Ar-Rasyafaat, Sayid Ahmad bin Idris pun kemudian menjelaskan bait demi bait dengan mengutip berbagai ayat Quran dan hadis Nabi saw. Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr kemudian membacakan karyanya sendiri, Sholâtul Muqarrabîn. Setelah Sholâtul Muqarrabîn selesai dibacakan, Sayid Ahmad berkata, "Andaikan penulis risalah ini masih hidup, maka sepatutnya perut onta dicambuk agar segera dapat menjumpainya.
"Waktu itu, aku hendak memberitahu mereka, bahwa penulis risalah itu adalah orang yang baru saja membacanya. Namun, Habib Hasan mencegahku," kata Habib Ahmad Al-Junaid. "Mungkin penulisnya hanya sekedar menyifatkan, tidak sungguh-sungguh mengalami apa yang ditulisnya," kata salah seorang murid Sayid Ahmad bin Idris.
"Diamlah engkau, wadah (hanya) akan memercikkan isinya, kata Sayid Ahmad bin Idris .
Mujahadahnya
Habib Hasan selalu berpegang teguh pada sunah nabi, dan berusaha meniti jejak para salafnya. Beliau mengamalkan berbagai salat sunah: salat sunah rawatib maupun salat sunah lainnya. Mulai dari salat khusuf dan kusuf sampai dengan salat tahiyyatul masjid. Mulai dari salat sunnatul wudhu, dhuha 8 rakaat, awwabin 20 rakaat, tahajjud di sebagian besar waktu malam sampai dengan salat witir 11 rakaat di akhir malam. Semua ini beliau kerjakan dengan tekun: siang maupun malam, saat berada di kota maupun ketika bepergian, saat sehat maupun sakit. Sakit tidak pernah mengendurkan semangat ibadah beliau. Apabila tiba saat ibadah, beliau seakan sembuh dari sakitnya. Namun, begitu ibadah selesai dikerjakannya, beliau tampak lemah kembali. Beliau selalu mengerjakan salat lima waktu dengan berjamaah.
Beliau biasanya membaca setengah Quran dalam salat tahajjudnya setiap malam. Kadang kala seluruh Quran beliau khatamkan dalam satu rakaat. Selama hidupnya beliau tidak pernah meninggalkan puasa Dawud, baik pada waktu musim panas maupun dingin, saat berada di kota maupun saat bepergian, ketika sehat maupun sakit. Beliau sering sekali membaca surat Yasin sebanyak 40 kali dalam satu majelis, dan dalam satu atau dua rakaat. Di antara wirid beliau adalah membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 90.000 kali dalam satu rakaat.
Beliau menunaikan ibadah haji lebih dari 7 kali. Beliau sangat sering tawaf di tengah kegelapan malam sambil membaca Quran sampai waktu fajar, terkadang beliau menghatamkannya dalam semalam. Pada waktu dhuha, hari Rabu 23 Dzul Qa'dah 1273 H beliau meninggal dunia di Dzi Isbah, lalu dikuburkan di dekat makam ibunya, di tengah-tengah musholla yang terletak di samping rumahnya.
Sifat Rahmatnya
Berikut adalah sekelumit cerita yang menunjukkan keluhuran budi dan kasih sayang beliau pada makhluk Allah.
Sekelumit tentang peristiwa Hijrah Rasulullah saw
Sekelumit tentang peristiwa Hijrah Rasulullah saw
Cahaya Baru bagi Islam
Yathrib adalah sebuah pekan di padang pasir lebih kurang 250 batu ke Utara Makkah. Di dalam tahun 620 M. enam orang Yathrib menziarahi Makkah untuk haji. Perjumpaan dengan secara kebetulan [tidak dirancang] dengan Muhammad telah membawa mereka bertukar kepada Islam. Mereka memberitahu baginda bahawa mereka telah meninggalkan Yathrib di dalam keadaan yang sangat genting dan peperangan boleh meletus pada bila-bila masa. Tetapi mereka menyatakan harapan mereka supaya Tuhan dapat mengembalikan keamanan kepada kota mereka melalui PesuruhNya. Mereka juga berjanji akan kembali ke Makkah dan berjumpa dengan baginda pada tahun yang akan datang.
Ini adalah permulaan Islam di Yathrib.
Apabila enam Muslim yang baru ini pulang ke Yathrib, mereka bercerita dengan saudara-saudara dan kawan-kawan mereka mengenai Islam, dan mendapati bahawa mereka bersedia, bahkan berminat untuk mendengar. Satu tahun kemudian, apabila musim haji tiba, 12 warga Yathrib termasuk enam orang yang terdahulu, melawat Makkah. Di antara mereka terdapat dua orang wanita. Mereka bertemu dengan Pesuruh Allah di Aqaba. Baginda menerangkan secara ringkas kepada mereka bab agama di dalam Islam. Inilah yang dikatakan perjanjian Pertama Aqaba.
Muslim-muslim ini dengan jujur meyakinkan Rasul Allah bahawa:
Mereka tidak akan menyekutukan apa-apa dengan Allah;
Mereka tidak akan menyembah apa-apa melainkan Allah;
Mereka tidak akan merompak atau mencuri;
Mereka tidak akan membunuh anak-anak perempuan mereka;
Mereka tidak akan menghina orang lain;
Mereka tidak akan merendahkan wanita;
Mereka akan sentiasa jujur dan bersih;
Mereka akan taat kepada Allah dan RasulNya
Dan mereka akan sentiasa setia kepada baginda di sepanjang masa.
Mereka yang baru menerima Islam meminta Rasul Allah menghantar beberapa orang guru bersama mereka ke Yathrib untuk mengajarkan kepada mereka Quran dan juga ajaran mengenai Islam. Baginda menghantar Mas’ab ibn Umayr, salah seorang bapa saudaranya. [Mas’ab adalah sepupu bapanya], bersama kumpulan ini untuk mengembangkan Islam di Yathrib. Misi Mas’ab berjaya, dan ramai keluarga di Yathrib menerima Islam.
Ini adalah kali pertama bahawa Muhammad Mustafa telah memilih seorang pegawai. Professor Margoliouth berkata bahawa Mas’ab ibn Umayr adalah yang pertama seorang pegawai di dalam Islam.
Perjanjian kedua Aqaba
Di dalam tahun 622 M., 75 warga Yathrib datang ke Makkah di dalam musim haji. Rasul bertemu dengan mereka di tempat yang sama di Aqaba di mana baginda telah bertemu kumpulan 12 orang setahun sebelumnya. Kesemua mereka, 75 lelaki dan wanita ini juga telah menerima Islam. Mereka berikan kepada baginda janji setia mereka, dan mempelawa baginda ke Yathrib.
Bapa saudara Rasul, Abbas ibn Abdul Muttalib, ada bersama baginda pada ketika itu. Dia telah dikatakan sebagai berkata kepada ‘tuan rumah’ dari Yathrib: ‘Muhammad telah dipandang mulia oleh kaumnya. Jika kamu akan bersama dengannya di dalam senang dan susah, bawalah dia bersama kamu ke Madinah; jika tidak, maka lupakanlah segala idea tersebut.’
Seorang ketua dari Yathrib, Bera’a ibn Ma’rur. Dia berkata: ‘Apabila kami kanak-kanak, permainan kegemaran kami adalah pedang dan tombak.’ Seorang lagi ketua, Abul Haithum, mencelah dengan berkata: ‘Wahai Pesuruh Allah! Apa akan terjadi, apabila Islam menjadi besar dan kuat? Adakah kamu akan meninggalkan Yathrib dan kembali ke Makkah?’
Muhammad Mustafa tersenyum dan berkata: ‘Tidak, darah kamu adalah darahku, dan darahku adalah darah kamu. Dari hari ini kamu adalah saya dan saya adalah kamu, dan saya tidak akan berpisah kumpulan dengan kamu.’
Muslim Yathrib berpuas hati dengan pengesahan yang diberikan kepada mereka oleh Muhammad Mustafa, dan mereka pulang ke Yathrib untuk menyebarkan Islam di antara kaum mereka. Islam mula membuahkan kemajuan di Yathrib. Ianya kelihatan seperti agama yang baru ini telah menjumpai syurga di dalam kota tersebut, Rasul menyarankan kepada mangsa penindasan di Makkah untuk berhijrah ke sana. Mengikuti saranan baginda, Muslim mula meninggalkan Makkah, di dalam kumpulan yang kecil, dan untuk tinggal di dalam rumah mereka yang baru di Yathrib.
Perjanjian kedua Aqaba adalah mercu tanda di dalam sejarah Islam. Ianya adalah pangkalan yang mana perahu kecil Islam telah dapat berlabuh akhirnya, setelah dipukul gelombang selama 13 tahun di dalam lautan yang bergelora bersama dengan jahiliah di tanah Arab.
Penghijrahan
Apabila kebanyakan Muslim telah meninggalkan Makkah dan menginap di Yathrib, telah dilihat oleh musyirik bahawa Islam kini bertapak di sebuah wadi ke utara mereka, dan telah boleh berdikari, ini menjadi satu ancaman terhadap kepentingan perdagangan mereka di Syria. Mereka melihat Islam sebagai ‘bencana’ baru yang muncul di utara. Dari itu mereka mengadakan perjumpaan di dewan bandaran, di mana mereka membincangkan cara yang paling berkesan untuk menghapuskan bencana ini. Selepas berdebat, mereka bersetuju dengan sebulat suara, bahawa untuk menghapuskan bencana yang baru ini, adalah dengan menghapuskan pengarangnya – diri Muhammad itu sendiri – ketika baginda masih berada di Makkah. Keputusan ini telah menimbulkan beberapa persoalan lain, seperti siapa yang akan membunuhnya, bagaimana, bila dan di mana? Mereka bincangkan persoalan ini dengan lebih lanjut, serta mempertimbangkan beberapa pilihan lain yang ada, dan akhirnya memutuskan, sekali lagi dengan sebulat suara, iaitu seorang wira dari setiap kaum dan suku yang tinggal di Makkah dan persekitarannya, akan dipilih; kesemua mereka akan menyerang rumah Muhammad serentak, dan membunuhnya, sebelum fajar pada keesokkan hari. Tindakan bersepadu begini, mereka yakin, akan ‘melemahkan’ Bani Hashim, yang tidak akan mampu untuk memerangi kesemua mereka pada masa yang sama sebagai membalas dendam terhadap pembunuhan Muhammad.
Bagaimana pun Rasul telah bersedia untuk menghadapi keadaan seperti ini. Setelah diberitahu mengenai rancangan Quraish untuk membunuh baginda, oleh seorang yang telah bertukar kepada Muslim secara rahsia, baginda telah memanggil sepupunya yang setia, Ali ibn Abi Talib, memberitahu beliau rancangan Quraish, dan juga rancangan baginda untuk memperdayakan mereka. Rancangan baginda adalah untuk menempatkan Ali di tempat tidurnya, dan kemudian keluar dari rumah pada ketika berpeluang. Quraish yang melihat Ali ditutupi oleh selimut, akan menyangka bahawa Muhammad sedang tidur. Baginda juga meminta Ali untuk memulangkan semua barangan simpanan musyirik yang ada padanya, kembali kepada tuannya, dan kemudian meninggalkan Makkah dan bertemu dengan baginda di Yathrib. Ali faham semuanya, dan Rasul kemudian menyerahkan beliau kepada perlindungan Tuhan.
Muhammad Husayn Haykal: Orang-orang muda yang Quraish sediakan untuk membunuh Muhammad telah mengepung rumah baginda, mereka khuatir baginda dapat melarikan diri. Pada malam penghijrahan, Muhammad memberitahu rancangannya kepada Ali ibn Abi Talib dan meminta beliau menutup badannya dengan selimut baginda yang berwarna hijau, dan tidur dikatilnya. Baginda juga menyuruh beliau tinggal di Makkah sehingga beliau telah pulangkan semua barang berharga yang disimpan dengan Muhammad kepada pemiliknya. (The Life of Muhammad, Cairo, 1935)
Marmaduke Pickthall: Para pembunuh berada di rumah baginda (Muhammad). Baginda berikan selimut baginda kepada Ali, menyuruh beliau baring di atas katilnya supaya sesiapa yang melihat ke dalam akan menyangka bahawa Muhammad yang berada di sana. (Introduction to the Translation of Holy Qur’an, Lahore, 1975)
Musyirik mengepung rumah Muhammad. Mereka melihat ke dalam dan mendapati tubuh badan yang ditutupi selimut, dan berpuas hati bahawa ‘buruan’ mereka masih selamat. Masa yang sesuai untuk Rasul menyelamatkan diri tiba, selepas tengah malam apabila yang berkawal tertidur. Baginda dengan perlahan berjalan melepasi mereka, keluar dari kawasan rumahnya.
Musyirik yang berkawal telah lalai, dan Rasul Allah telah berjaya melepaskan diri dari kawalan mereka!
Ali tidur di tempat tidur Rasul sepanjang malam. Sejurus sebelum fajar, para pembunuh musyirik menyerbu ke dalam rumah dengan pedang terhunus untuk membunuh Rasul. Tetapi mereka terkejut dan kecewa tidak terkata apabila mereka mengetahui bahawa yang tidur itu adalah Ali bukannya Muhammad. Mereka menangkap Ali untuk disoalsiasat dan mungkin juga untuk diseksa. Tetapi kapten mereka memberitahu bahawa Muhammad belum jauh melarikan diri, dan mungkin mereka masih punya masa untuk menangkap baginda, jika mereka tidak membuang masa yang berharga menyoal Ali, yang kemudiannya telah dilepaskan. Peristiwa ini diraikan di dalam sejarah Islam sebagai Hijrah.
M. Shibli, seorang ahli sejarah India yang terkenal, menulis di dalam biografi Rasul Allah: ...musyirik Makkah benci kepada Muhammad, tetapi mereka percaya kepadanya. Sesiapa yang mempunyai barang berharga, mereka membawa dan menyimpannya kepada Muhammad. Baginda adalah ‘bank’ mereka. Baginda tahu mengenai rancangan Quraish untuk membunuhnya. Baginda memanggil Ali dan berkata: "Allah telah memerintahkan saya supaya pergi ke Yathrib. Kamu tidurlah dikatil saya dan esok pulangkan semua simpanan orang Makkah kepada pemiliknya." Situasi ini mempunyai bahaya yang besar. Ali juga tahu bahawa Quraish telah memutuskan untuk membunuh Rasul Allah pada malam itu, dan untuk tidur dikatil baginda adalah seperti menempah maut. Tetapi bilakah Ali pernah takut kepada mati? Penakluk Khybar ini telah tidur di tempat maut dengan lenyaknya seperti yang beliau belum pernah rasakan sebelum ini di sepanjang hidupnya. (Life of the Apostle of God, Azamgarh, India, 1976)
Rasul tidak punya masa untuk menerangkan kepada Ali secara khusus, berapa banyak yang ada di dalam simpanannya, dan kepada siapa harus dipulangkan. Mencukupi untuk baginda memberitahu Ali supaya memulangkan segala simpanan kepada pemiliknya, dan beliau dapat melakukan. Sama seperti jamuan Dhul-'Asheera, apa yang Rasul perlu lakukan hanya meminta Ali mengundang ketua-ketua suku kaum dari Bani Hashim. Tidak ada arahan khusus yang perlu. Ali terus faham apa yang ketuanya perlukan dari beliau. Dengan diamanahkan untuk mengembalikan simpanan orang Makkah kepada pemiliknya, adalah bukti bahawa Ali dipercayai dan ‘setiausaha sulit’ kepada Rasul Islam walaupun sebelum penghijrahan ke Yathrib.
Jika hijrah menunjukkan ketaatan Ali yang tidak berbelah bagi kepada ketuanya, Muhammad, ianya juga telah memaparkan keberanian beliau. Musuh yang berkawal mungkin telah membunuh beliau kerana mempercayai bahawa beliau adalah Muhammad atau setelah mengetahui bahawa beliau bukan Muhammad telah membunuh beliau disebabkan oleh rasa kecewa dan marah. Beliau faham semuanya, tetapi buat diri beliau tidak ada cabaran yang lebih besar, jika beliau dapat menyelamatkan diri Rasul Tuhan. Di atas ketaatan dan keberanian inilah beliau telah memenangi wahyu di dalam Al-Qur’an al-Majid. Qur’an telah memberikan penghormatan terhadap ketaatan dan keberanian yang ditunjukkan oleh beliau dimalam hijrah seperti berikut:
Dan di antara manusia terdapat seorang yang menjual nyawanya untuk memenangi keridhaan Allah. Allah amat pengasih kepada hambaNya. (Surah 2; ayat 207)
Razi, pengulas Qur’an yang terkenal, berkata di dalam bukunya Tafsir Kabir (vol. II, ms 189) bahawa ayat ini telah diwahyukan sebagai penghargaan terhadap khidmat Ali yang cemerlang pada malam penghijrahan, apabila beliau membolehkan untuk Muhammad, Rasul Allah, meninggalkan Makkah. Disebabkan oleh Ali, baginda dapat berhijrah dengan selamat.
Pada malam yang bersejarah itu, perdagangan yang misteri dan aneh telah berlaku, yang pertama dan terakhir seumpamanya di dalam seluruh sejarah manusia. Ia adalah jual-beli di antara Allah dengan seorang dari hambaNya. HambaNya itu adalah Ali ibn Abi Talib.
Pada malam yang gelap, hening lagi sepi, Allah telah datang ke ‘pasar’ sebagai ‘pembeli’. Dia datang untuk membeli ‘komoditi’ tertentu. HambaNya Ali datang ke ‘pasar’ sebagai ‘pedagang’. Misinya: untuk menjual ‘komoditi’ yang Allah cari. ‘Komoditi’ itu adalah nyawanya!
Allah, ‘pembeli’ melihat kualiti ‘komoditi’ dan mendapatinya yang terbaik. Dia lalu memutuskan untuk membelinya diketika itu juga. Dia membayar ‘harganya’ kepada ‘pedagang’ dan ‘komoditi’ itu berpindah tangan, sama seperti perniagaan yang lain. Semenjak dari saat itu ‘komoditi’ – nyawa Ali – bukan lagi miliknya, dan telah menjadi harta Allah yang khusus. Penjualan dan pembelian di antara Tuan dan hamba telah selesai, dan telah memuaskan kedua-dua pihak.
Terdapat juga ‘saksi’ di dalam urusan ini. Iaitu para malaikat dan bintang – terlalu banyak – yang melihat dari tempat kedudukan mereka. Dengan rasa kagum dan hormat melihat Ali menjual nyawanya kepada Allah. Al-Qur’an al-Majid menjadi "jurucakap" kepada manusia yang dibumi, dan merakamkan apa yang mereka para saksi, lihat pada malam yang bersejarah.
‘Rekod’ urusan ini, seperti yang tersimpan di dalam Qur’an, ada bersama kita sekarang, dan ianya tidak akan musnah. Ia akan kekal di dunia ini selagi malaikat dan bintang-bintang yang menyaksikan urusan kekal dilangit!
Ali telah menjualkan "barangan" itu kepada Allah. Sekarang beliau bebas dari "kerisauan" terhadap keselamatan ‘barangan’ tersebut, beliau dapat tidur dengan lena – dikatil Muhammad Mustafa, Rasul Allah. Pada ‘Malam yang ditentukan’ itu beliau tidur untuk tidur yang abadi. Pada paginya, apabila beliau terjaga, atau apabila beliau dikejutkan oleh bisingnya bunyi tombak dan pedang para pembunuh yang dihantar oleh Quraish, untuk membunuh Muhammad, beliau telah menjadi abadi! [keimanan kepada Allah sepenuhnya. Nyawanya telah dibeli. Pent.]
Dari semua hambanya, Allah memilih Ali untuk melaksanakan rancanganNya. Rancangan itu adalah untuk melindungi RasulNya dari para musuh. Quraish telah merancang untuk menghancurkan Islam. Mereka yakin jika mereka dapat bunuh Muhammad, Islam akan hancur. Maka mereka merancang dan berkonpirasi untuk membunuh Muhammad. Tetapi mereka tidak tahu bahawa Allah mempunyai rancangan tindak balasNya untuk situasi begini. Rancangan tindak balas Allah yang akan menamatkan rancangan Quraish dengan menyelamatkan nyawa RasulNya. Rujukan Qur’an terhadap rancangan tindak balas Allah terdapat di dalam ayat yang berikut:
Dan (yang kafir) berkomplot dan merancang, dan Allah merancang juga, perancang yang terbaik adalah Allah. (Surah 3; ayat 54)
Ali ibn Abi Talib adalah "alat terpenting" di dalam rancangan tindak balas Allah. Peranan Ali menjaminkan kejayaan bagi hijrah Muhammad, dan hanya dengan kejayaan hijrah sahaja yang boleh melahirkan sebuah negara Madinah. Jika hijrah telah gagal, negara Madinah tidak akan wujud. Negeri Madinah adalah perkakasan pertama dan terakhir bagi kerajaan langit dimuka bumi. Allah menjadikan hambaNya, Ali ibn Abi Talib, alat yang melaluinya Dia meletakkan kerajaan itu di dunia.
Apabila Muhammad telah keluar dari kawasan rumah, baginda pergi ke rumah Abu Bakar, dan memberitahu dia bahawa Tuhan telah memerintahkannya untuk meninggalkan Makkah pada malam yang sama. Oleh kerana mereka tidak punya masa untuk dibuang, mereka terus sahaja meninggalkan kota, dan pergi kesebuah gua yang dipanggil Thaur, yang berada diselatan Makkah. Mereka sampai ke gua dan masuk ke dalamnya ketika hari masih lagi gelap.
Mereka sedang bersembunyi di dalam gua, apabila beberapa jam kemudian, para pembunuh juga sampai ke situ, di dalam mengejar mereka. Menurut dari tradisi, labah-labah telah membuat sarang melintasi pintu masuk gua, dan burung telah bertelur padanya. Para pembunuh berhujah bahawa jika sesiapa memasuki gua, sarang labah-labah dan telur akan pecah, dan oleh kerana ianya di dalam keadaan baik maka tiada siapa yang memasukinya. Ini telah meyakinkan mereka bahawa tidak ada pelarian di dalam gua itu, lalu mereka kembali ke Makkah.
Ketika para pembunuh itu berbalah, untuk masuk atau tidak ke dalam gua dan menangkap pelarian yang bersembunyi di dalamnya, Abu Bakar telah dirasuk oleh ketakutan, dan dia berkata kepada Rasul: "Kita hanya berdua dan musuh kita ramai. Apakah peluang kita untuk selamat jika mereka masuk ke dalam gua?" Muhammad berkata: "Tidak. Kita bukan berdua. Ada yang ketiga bersama kita, dan Dia adalah Allah." Peristiwa ini telah dirujuk di dalam Al-Qur’an al-Majid seperti berikut:
Dan Allah membantu RasulNya apabila musyirik mengusir baginda. Dan apabila mereka di dalam gua, baginda berkata kepada yang kedua: "janganlah bersusah hati. Tuhan bersama kita." Dan Tuhan berikan keamanan ke atasnya (atas RasulNya) (Surah 9; ayat 40)
Rasul dan Abu Bakar menghabiskan masa tiga hari di dalam gua. Di Makkah pada masa itu, keinginan untuk menangkap Rasul telah pudar. Pada hari keempat, Abdullah anak lelaki Abu Bakar, membawa dua ekor unta untuk mereka. Abu Bakar berikan seekor kepada Rasul tetapi baginda menolak pemberian itu, dan membayar harganya sebelum unta ditunggang. Baginda dan Abu Bakar menunggang unta dan menyusur melalui pinggir Makkah keutara dan timur, mereka jalan ke arah Yathrib di Utara.
Muhammad ibn Ishaq: Apabila Abu Bakar membawa dua ekor unta kepada Rasul, dia menawarkan yang terbaik kepada baginda dan mempelawa baginda untuk menunggangnya. Tetapi Rasul menolak untuk menunggang binatang yang bukan kepunyaannya, dan apabila Abu Bakar hendak memberinya, baginda berkeras untuk mengetahui berapakah harganya yang baginda harus bayar, dan membelinya dari dia. (Life of the Messenger of God)
Kedua pengembara mengharungi jarak di antara Makkah dan Yathrib dalam masa sembilan hari, dan pada hari kesepuluh mereka tida di Quba, suatu tempat dua batu ke selatan Yathrib di mana mereka tinggal di rumah Kulthum bin Hind, sebagai tetamu. Rasul membuat keputusan untuk menunggu ketibaan Ali dari Makkah sebelum memasuki Yathrib. Dalam masa itu baginda meletakkan tapak untuk masjid Quba. Ianya hanya sekadar struktur yang kasar dan disiapkan dalam masa empat belas hari.
Rasul Allah tiba di Quba pada hari Isnin. Pada Hari Khamis Ali pula tiba. Beliau telah pulangkan wang tunai, barang kemas, dokumen dan barangan lain kepada pemiliknya orang Makkah. Ketuanya bergembira melihat beliau, dan bersyukur kepada Tuhan yang telah mengeluarkannya dengan selamat dari Makkah.
Muhammad ibn Ishaq: Ali tinggal di Makkah selama tiga hari dan tiga malam sehinggalah beliau telah memulangkan segala simpanan yang ada pada Rasul. Setelah selesai, beliau pergi untuk bersama dengan baginda dan tinggal bersama dengan baginda di rumah Kulthum.(The Life of the Messenger of God)
S. Margoliouth: Pada hari Isnin 8hb Rabi-I tahun 1 H., bersamaan September 20 tahun 622 M., Rasul tiba di Kuba, sekarang ini tempat yang baik untuk pertanian. Layanan yang baik telah diberikan oleh seorang tua yang telah memeluk Islam, Kulthum anak kepada Hind, nama bagi "kejayaan" dilihat oleh Rasul sebagai petanda yang baik (Isabah, iii, 1138). Baginda telah menerima tawarannya, walaupun jika untuk bertandang, rumah seorang lagi yang memeluk Islam di dapati lebih menyenangkan. Di Kuba, Rasul berhasrat untuk tinggal di situ sehingga Ali dapat bersama baginda, kebetulan itu terjadi pada hari khamis; bersama beliau adalah Suhaib ibn Sinan, yang telah dipaksa oleh Quraiysh untuk menyerahkan semua simpanannya. Pada hari Jumaat, Rasul menunggang dari Kuba menuju Yathrib, dan telah dikatakan melaksanakan solat di Wadi Ra'unah.(Mohammed and the Rise of Islam, London, 1931)
Laluan telah dipenuhi oleh warga Yathrib yang ramai, dan telah memakai pakaian terbaik untuk bertemasya. Wanita dan kanak-kanak menyanyikan lagu selamat datang dari atas bumbung rumah mereka. Ini adalah satu pandangan yang amat sukar untuk dibayangkan di dalam khayalan. Muhammad, Rasul Allah telah tergerak hatinya dengan sambutan yang sedemikian.
Setiap warga Arab Yathrib bersedia untuk menjadi tuan rumah kepada Rasul Islam yang sedang memasuki kota sebagai tetamu. Tetapi dengan hasrat untuk tidak mengecewakan walaupun warga yang terendah, baginda melepaskan tali kekang unta betinanya, dan menyatakan bahawa baginda akan tinggal di mana sahaja untanya berhenti. Unta itu berjalan melepasi banyak rumah, dan kemudian berhenti di hadapan rumah Abu Ayyub, yang mana dia berbangga dapat menjadi tuan rumah kepada Rasul Tuhan. Abu Ayyub adalah warga Yathrib yang terkenal, dan tergolong di dalam Bani Najjar. Kedua-duanya Aminah, ibu kepada Rasul, dan ibu kepada datuknya, Abdul Muttalib, tergolong di dalam kaum ini.
Tahun Pertama Hijrah
Menurut dari penyiasatan Mahmud Pasha al-Falaki dari Mesir, hari apabila Muhammad Mustafa, Rasul Allah, sampai di Quba adalah Isnin, 8hb Rabi-I tahun ke 13 dari pengistiharannya, tarikh yang bersamaan dengan September 20, 622 M.
Pada hari Jumaat berikutnya, 12hb Rabi-I (September 24), Rasul Allah meninggalkan Quba, dan memasuki Yathrib. Baginda menginap di rumah Abu Ayyub, seperti yang telah dinyatakan.
Pembinaan Masjid di Yathrib
Yang pertama Muhammad Mustafa [s.a.w], lakukan setibanya di Yathrib, adalah membina Masjid untuk menyembah Allah. Di hadapan rumah Abu Ayyub terdapat tanah lapang kepunyaan dua orang anak yatim. Rasul memanggil mereka dan penjaganya, dan memberitahu mereka bahawa baginda hendak membeli tanah tersebut. Mereka memberitahu baginda bahawa mereka merasa senang hati untuk menghadiahkan kepada baginda. Tetapi baginda menolaknya sebagai hadiah, dan berkeras untuk membayar harga tanah tersebut. Mereka akhirnya bersetuju untuk menerima bayaran untuk tanah tersebut. Bayaran telah dibuat dan pecah tanah terus dimulakan.
Menerangkan sebab mengapa Rasul Allah tidak menerima tanah tersebut sebagai hadiah, M. Abul Kalam Azad berkata di dalam bukunya, Rasul-e-Rahmet (Rasul Rahmat), (Lahore, Pakistan, 1970):
Rasul tidak mahu membuat seseorang seperti terpaksa. Siapakah yang boleh mengatakan dirinya lebih taat kepada baginda dari Abu Bakar? Dan baginda sendiri berkata bahawa baginda lebih berterima kasih kepada Abu Bakar untuk sokongan moral dan kebendaan dari yang lainnya. Dan bahkan, apabila Abu Bakar berhasrat untuk memberikan untanya sebagai hadiah pada petang pemergian mereka dari Makkah ke Yathrib, baginda tidak menerimanya, sehinggalah baginda membayar harganya kepada Abu Bakar. Begitu juga di Yathrib, apabila baginda berhasrat untuk membeli tanah untuk mendirikan masjid, tuan punya menawarkan kepada baginda sebagai hadiah. Tetapi baginda menolak untuk menerima sebagai hadiah. Tanah itu diterima apabila tuannya bersetuju untuk menerima bayaran harga tanah dari baginda.
Masjid Yathrib adalah yang paling mudah dari segi reka bentuknya. Bahan yang digunakan untuk pembinaannya adalah batu yang tidak di bakar dan motar sebagai dinding, pelepah kurma sebagai atap dan disokong oleh batang dari pokok palma. Kiblat masjid menghadap ke arah Jerusalem di Utara. Setiap satu dari tiga penjuru ditebuk sebagai pintu. Lantai masjid tidak punya penutup pada mulanya, tidak juga tikar yang kasar. Dua pondok telah dibina pada dinding di sebelah luar, satu untuk Sauda anak perempuan Zama'a; dan satu lagi untuk Aisyah, anak perempuan Abu Bakar, dua isteri Rasul pada ketika itu. Pondok baru didirikan untuk isteri yang baru, apabila mereka datang ditahun-tahun kemudiannya. Inilah kali pertama Muslim berkerja sebagai satu pasukan di dalam projek komuniti [kemasyarakatan]. Di tahun yang akan datang kumpulan ini akan membina edifice [bangunan] Islam yang teragung.
Kehadiran Rasul Allah telah mendorong setiap para sahabat untuk bersaing di antara mereka untuk melakukan yang terbaik. Di antara para sahabat itu Ammar ibn Yasir, yang menurut Ibn Ishaq, adalah orang pertama di dalam Islam yang mendirikan masjid. Ibn Ishaq, tidak menyatakan masjid yang mana Ammar telah dirikan. Tetapai Dr. Taha Husain dari Mesir berkata bahawa Ammar telah membina sebuah masjid di Makkah dan beliau bersolat di dalamnya, lama sebelum beliau berhijrah ke Yathrib.
Ketika masjid sedang dibina satu peristiwa berlaku yang mana Ibn Ishaq telah merakamkannya seperti berikut: "Ammar b. Yasir masuk apabila mereka telah membebani beliau dengan batu-bata sambil berkata, "Mereka membunuh saya. Mereka membebankan saya dengan beban yang mereka sendiri tidak dapat memikulnya." Umm Salama, isteri Rasul berkata: "Saya melihat Rasul mengusap rambut Ammar – yang berambut kerinting dan berkata – "Duhai, Ibn Sumayyah! Bukan mereka yang membunuh kamu, tetapi sekumpulan manusia yang jahat." (Ramalan ini telah dikatakan terjadi apabila Ammar telah terbunuh di Siffin – Suhayli, ii, p.3)
Ali mengubah rangkap rajaz [umpama syair] pada hari itu (apabila masjid sedang dibina):
Terdapat seorang yang berkerja malam dan siang
Untuk mendirikan masjid dari batu dan lumpur
Terdapat seorang dari debu berpaling
Dan dengan cepat larinya
Ammar menghafal dan mula mengalunkannya.
Apabila beliau berterusan memperdengarkannya, seorang dari sahabat Rasul menyangka bahawa dirinya yang telah diperkatakan, menurut dari apa yang Ziyad b. Abdullah al-Bakkai memberitahu saya dari Ibn Ishaq. Sebenarnya Ibn Ishaq menyebutkan nama orang tersebut.
Dia berkata: "Saya telah dengar apa yang kamu telah katakan untuk sekian lama, wahai Ibn Sumayyah, dan demi Allah saya fikir saya akan memukul hidung kamu!" Dia mempunyai kayu di tangannya, dan Rasul telah menjadi marah dan berkata: "Apa masalahnya di antara mereka dan Ammar? Beliau mengajak mereka kesyurga dan mereka mengajak beliau ke neraka. Saya menyayangi Ammar seperti muka saya. Jika sesiapa berkelakuan begini dia tidak akan diampunkan, maka jauhilah dia."
Sufyan b. Uyana menyebut dari penyampaian Zakariya dari al-Shabi bahawa orang pertama untuk mendirikan masjid adalah Ammar bin Yasir.
(Suhayli berkata: Ibn Ishaq ada menyebut nama orang itu, tetapi Ibn Hisham mengutamakan untuk tidak menyebutnya, dengan itu tidak perlulah menyebutkan nama sahabat Rasul di dalam situasi yang buruk. Maka tidaklah dibolehkan untuk bertanya siapakah mereka. Abu Dharr berkata: Ibn Ishaq ada menamakan orang itu dan berkata, "Orang itu adalah Uthman b. Affan." Penyunting Cairo berkata di dalam Mawahib al-Laduniya, al-Qastallani, d. 1517 M., bahawa orang itu adalah Uthman b. Mazun. Penulis yang terakhir ini bolehlah diketepikan dalam perkara ini.) "
Ditapak pembinaan masjid, seseorang dapat menyaksikan pandangan yang menyentuh jiwa dengan cerita di hari-hari pertama Islam Muhammad Mustafa, Rasul Allah, membuangkan debu dengan tangan baginda dari kepala dan muka Ammar ibn Yasar. Baginda tidak memberikan penghormatan sedemikian pada sahabat yang lain dengan tanda rasa kasih, sayang dan belaian.
Apabila Rasul menegur sahabat sahabatnya kerana bergaduh dengan Ammar, dan baginda berkata bahawa beliau [Ammar] mengajak mereka ke syurga sedangkan mereka mengajak beliau ke neraka, baginda mungkin menerangkan ayat 41 dari Surah 40 (Sura-tul-Mumin) di dalam Qur’an yang bererti seperti berikut:
‘Dan wahai kaumku! Betapa anehnya kerana saya memanggil kamu kepada keselamatan sedang kamu memanggil saya kepada neraka.’
Mengulas ayat ini, Abdullah Yusuf Ali, pentejermah Al-Qur’an al-Majid, berkata:
Boleh dikatakan aneh menurut undang-undang dunia ini bahawa baginda mencarikan kebaikan untuk mereka sedang mereka mencarikan untuk kemelaratnya; tetapi itu adalah kemuliaan iman.
Sahabat yang bergaduh dengan Ammar ibn Yasir apabila masjid Yathrib sedang dibina adalah Uthman b. Affan, seorang dari khalifah Muslim yang akan datang. Dia selalu merungut apabila berkerja di dalam debu dan lumpur, yang menjadikan pakaiannya kotor. Apabila Rasul Allah menunjukkan kemarahannya, dia terpaksa berdiam diri, tetapi peristiwa ini membeku di dalam hatinya, dan dia tidak pernah lupa. Beberapa tahun kemudian apabila dia menjadi khalifah, dan mempunyai kuasa di dalam tangannya, dia memerintahkan hambanya untuk menjatuhkan Ammar ibn Yasir dan memukul beliau orang yang disayangi oleh Muhammad Mustafa, Rasul Allah, seperti mukanya sendiri.
Kenyataan bahawa bukannya Uthman bin Affan tetapi Uthman bin Mazun atau orang lain; yang dengan mengancam Ammar ibn Yasir, telah menimbulkan kemarahan Rasul Allah, adalah percubaan untuk membuat pembersihan oleh ahli sejarah ‘istana’ yang kemudian.
Pada ketika ini, Ammar ibn Yasir telah menikmati empat kecemerlangan yang mana telah membuatnya dicemburui oleh para sahabat Muhammad, Rasul Allah, yang lain.
Kecemerlangan itu adalah:
Beliau dari Keluarga Muslim yang Pertama.
Beliau adalah anak kepada Syahid pertama dan kedua di dalam Islam. Ibu Beliau, Sumayyah, adalah syahid pertama, dan bapa beliau, Yasir, adalah syahid kedua. Ini adalah penghormatan yang tidak diperolehi oleh mana-mana sahabat Muhammad Mustafa.
Beliau yang pertama mendirikan masjid.
Beliau yang dikasihi oleh Muhammad Mustafa, Rasul Allah.
Semoga Allah merahmati Ammar ibn Yasir dan kedua ibu bapanya.
Azan dan Solat
Adalah wajib bagi Muslim untuk mendirikan solat lima kali sehari. Mereka hendaklah memberhentikan kerja-kerja harian mereka seketika untuk melaksanakan tugas ini. Tetapi tidak ada cara untuk memberitahu mereka bahawa waktu solat telah masuk.
Menurut tradisi Sunni, seorang sahabat menyarankan kepada Rasul supaya trumpet ditiup atau loceng dibunyikan untuk memberitahu Muslim pada setiap waktu solat. Baginda tidak menerima saranan ini, kerana baginda tidak mahu menggunakan kaedah yang digunakan oleh Yahudi dan Nasrani.
Abdullah bin Ziyad adalah seorang warga Yathrib. Beliau datang berjumpa Rasul dan berkata bahawa ketika dia separuh tidur dan separuh jaga, seorang lelaki menjelma di hadapan beliau dan memberitahunya bahawa suara manusia hendaklah digunakan untuk memanggil yang beriman bersolat; dan orang itu juga mengajarkan azan, dan cara untuk menyebutnya.
Ahli sejarah Sunni mengatakan bahawa Rasul telah tertarik pada pendapat itu, dan terus menerimanya. Baginda kemudian memanggil Bilal, dan mengajarnya bagaimana untuk menyerukan azan, dan melantik beliau sebagai Muezzin yang pertama di dalam Islam.
Cerita ini ditolak oleh Muslim Syi’ah. Mereka katakan, sebagaimana Al-Qur’an al-Majid telah diwahyukan kepada Muhammad Mustafa, begitu jugalah dengan Adhan. Mereka menegaskan bahawa cara menyeru mereka yang beriman untuk solat tidak boleh dibiarkan kepada mimpi atau khayalan sesetengah Arab. Mereka menambah lagi bahawa jika Rasul boleh mengajarkan kepada manusia bagaimana untuk melakukan wudu’, dan bagaimana, bila dan apa yang hendak dibaca di dalam setiap solat, maka baginda juga boleh mengajar mereka bagaimana dan bila untuk memberitahu yang lain bahawa telah tibanya waktu untuk setiap solat.
Menurut dari tradisi Syi’ah, malaikat yang mengajar Rasul Allah bagaimana untuk melakukan wudu’, dan apa yang perlu dibaca di dalam solat, juga telah mengajarkan kepada baginda bagaimana untuk menyeru kepada mereka untuk bersolat.
Yathrib menjadi Madinah
Nama "Yathrib" tidak lama lagi akan lenyap. Manusia mula memanggilnya “Madinah-tun-Nabi,” Kota Rasul. Lama kelamaan cara penggunaannya menjadi singkat dan kini menjadi sebagai “Madinah”, "Kota," dan itulah nama kota Nabi tinggal kekal ke hari ini.
Kumpulan [Kaum] di Madinah
Apabila Rasul dan pedatang dari Makkah tiba di Yathrib [kini Madinah], mereka dapati tiga kaum Yahudi terdapat di sana iaitu, Quainuqa, Nadhir dan Qurayza, dan dua kaum Arab iaitu, Aus dan Khazraj, yang hidup di dalam kota.
E. A. Belyaev: Peduduk asal Madinah terdiri dari tiga kaum Yahudi, Quainuqa, Quraiza dan Nadhir; dan dua kaum Arab, Aus dan Khazraj. (Arabs, Islam and the Arab Caliphate in the Early Middle Ages. 1969)
Kaum Yahudi adalah petani, peniaga, pedagang, peminjam wang, tuan tanah dan pengusaha industri. Mereka telah menjadi kaya melalui amalan riba dan mereka juga menguasai industri persenjataan di Arab.
Dua kaum Arab di Madinah, Aus dan Khazraj, mereka hidup dengan bertani. Sebelum kedatangan Rasul, mereka berdua saling terikat dengan peperangan yang berpanjangan selama lima generasi. Peperangan mereka yang terakhir baru empat bulan berlalu iaitu dalam tahun 618 M., dan itu telah menjadikan mereka rebah dan keletihan.
Terdapat juga sebilangan kecil kristian yang tinggal di Makkah. Mereka tidak berbaik-baik dengan Rasul Islam kerana baginda menyangkal ajaran Triniti [tiga dalam satu], dan mengajarkan ke Esaan yang Menjadikan.
Kumpulan yang keempat yang akan timbul di Madinah kemudian, adalah golongan ‘hipokrit’ dan yang ‘derhaka’ Semasa misi Rasul di Makkah, terdapat ramai Muslim yang terpaksa menyembunyikan keimanan mereka kerana takut akan diseksa. Di Madinah, keadaannya bertentangan. Manusia ini [si hipokrit] jumlah mereka sedikit, mereka menzahirkan keIslaman mereka sedang diri mereka tidak ikhlas. Merekalah punca utama bagi kemusnahan, pengkhianatan dan pemberontakan.
Sistem Pemerintahan Madinah [Piagam]
Warga Yathrib mengakui Muhammad sebagai ketua, dan baginda memberi mereka ‘piagam’ yang dipercayai sebagai dokumen pertama yang ditulis oleh Islam [selain dari Qur’an]. Piagam yang asal seperti yang disimpan oleh Ibn Ishaq, mengandungi empat puluh tujuh (47) fasal. Berikut adalah yang paling mustahak daripadanya:
* Semua perselisihan di antara dua parti di Yathrib hendaklah dirujuk kepada Muhammad, untuk baginda selesaikan.
* Muslim dan Yahudi dapat menikmati hak yang sama.
* Setiap kumpulan di Yathrib hendaklah mengikuti kepercayaan mereka, dan tidak ada kumpulan lain yang boleh mencampuri urusan kumpulan yang lain.
* Di dalam kejadian serangan dari luar ke atas Yathrib, kedua-dua kumpulan iaitu Muslim dan Yahudi hendaklah mempertahankan kota.
* Kedua-dua kumpulan hendaklah menahan dari menumpahkan darah di dalam kota.
* Muslim tidak boleh berperang dengan Muslim lain, disebabkan kerana yang bukan Muslim.
R. V. C. Bodley: Muhammad membuat satu piagam dengan Yahudi, di mana di antara lainnya, adalah dinyatakan bahawa Yahudi dan Muslim hendaklah saling membantu di dalam semua perkara berkaitan dengan kota. Mereka hendaklah menjadi sekutu terhadap musuh yang sama, dan ini tanpa sebarang syarat adalah kewajipan bersama terhadap Islam atau Yahudi. Fasal utama piagam ini adalah seperti berikut: Yahudi yang menjadikan dirinya di dalam ke satuan kami akan mendapat hak yang sama dengan orang-orang kami dengan pertolongan dan kedudukan. Yahudi dari beberapa cabang yang lain yang tinggal di Yathrib hendaklah bersatu dengan Muslim sebagai satu masyarakat. Mereka boleh mengamalkan agama mereka dengan bebas sama seperti Muslim. Hamba yang bebas dan sekutu Yahudi sama-sama dapat menikmati keselamatan dan kebebasan. (The Messenger, the Life of Mohammed, New York, 1946)
Muhajirin dan Ansar
Muhammad menukar nama dua kumpulan Muslim yang hidup di Madinah. Baginda memanggil pendatang dari Makkah "Muhajirin" (pendatang); dan baginda memanggil warga Yathrib yang telah menyambut mereka, "Ansar" (penyokong). Kedua kumpulan ini telah dikenali dengan nama ini sehingga kini.
Keadaan Ekonomi di Madinah
Kekayaan Madinah boleh dikatakan kesemuanya tertumpu di tangan kaum Yahudi. Arab (kini Ansar) hidup dalam kemiskinan dan mengemis. Satu sebab mengapa mereka begitu miskin adalah kerana faedah yang tinggi mereka perlu bayar kepada Yahudi pada setiap pinjaman mereka.
D. S. Margoliouth: Walaupun kita dengar nama satu atau dua orang Yathrib yang kaya tetapi ramai di antara mereka adalah miskin. Di Yathrib, di masa Rasul, hanya terdapat satu pakaian pengantin; barang perhiasan perlu dipinjam dari orang Yahudi. Kemiskinan ini mungkin disebabkan oleh peminjam wang Yahudi. (Mohammed and the Rise of Islam, London, 1931)
Tetapi jika Ansar miskin, Muhajirin adalah papa. Di dalam melarikan diri dari Makkah, mereka telah meninggalkan segala yang mereka miliki, dan apabila mereka datang ke Yathrib mencari perlindungan, mereka tidak punya wang. Sekejap sahaja situasi menjadi buruk. Mereka perlu membuat sesuatu untuk mencari nafkah. Oleh kerana tidak terdapat apa-apa melainkan pertanian, yang terbaik mereka dapat lakukan adalah menjadi buruh diladang Yahudi dan Ansar.
D. S. Margoliouth: Pada mulanya telah diatur bahawa Pendatang hendaklah membantu Penolong [Ansar] di dalam kerja-kerja ladang mereka; tetapi oleh kerana tiada pengalaman dengan kerja-kerja perladangan, mereka hanya mendapat melakukan kerja-kerja yang tidak memerlukan kemahiran, maka sebahagiannya memotong kayu dan mengangkat air, sebahagian diambil berkerja menyiram pokok, membawa kulit binatang di belakang mereka; dan Ali pada satu ketika mendapat upah enam belas kurma kerana mengisi air ke dalam bekas dan menuangnya ke dalam tuangan untuk membuat batu-bata pada kadar satu kurma bagi setiap satu bekas, ini tidak cukup untuk dijadikan sajian, namun begitu beliau berkongsi juga dengan Rasul. (Mohammed and the Rise of Islam, London, 1931)
Untuk menyesuaikan Muhajirin ke dalam kehidupan ekonomi Madinah adalah suatu masalah yang sungguh rumit, dan ia telah mengambil segala ketajaman fikiran Rasul. Baginda tidak mahu mana-mana ahli di dalam masyarakat Muslim, jauh sekali semua Muhajirin, menjadi beban kepada sesiapa, dan telah melakukan apa sahaja untuk mengurangkan pergantungan ke atas Ansar.
Persaudaraan di antara Muhajirin dan Ansar
Salah satu langkah dari usaha Rasul untuk memperbaiki Muhajirin yang terlantar di Madinah, dan untuk menyatukan mereka ke dalam kehidupan sosial dan ekonomi kota, adalah untuk menjadikan mereka ‘saudara’ kepada Ansar. Beberapa bulan setelah baginda sampai di Madinah, baginda memberitahu Muhajirin dan Ansar bahawa mereka hendaklah hidup seperti ‘saudara’ di antara mereka, dan gabongkan mereka seperti berikut:
Muhajirin saudara kepada Ansari
Ammar ibn Yasir " Hudhayfa al-Yamani
Abu Bakar Siddiq " Kharja bin Zayd
Umar bin al-Khattab " Utban bin Malik
Uthman bin Affan " Aus bin Thabit
Abu Dharr al-Ghiffari " Al-Mundhir b. Amr
Mas'ab ibn Umayr " Abu Ayyub
Abu Ubaidah Aamer al-Jarrah " Saad ibn Maadh
Zubayr ibn al-Awwam " Salama bin Waqsh
Abdur Rahman bin Auf " Saad ibn Rabi
Talha bin Ubaidullah " Ka'ab ibn Malik
Ali ibn Abi Talib sahaja yang ditinggalkan tanpa ada saudara. Beliau tertanya-tanya mengapa, apabila Rasul Allah memeluknya dan berkata: "Kamu adalah saudara aku di dunia ini dan juga di akhirat."
Muhammad ibn Ishaq: Rasul sendiri mengambil tangan Ali dan berkata: "Ini adalah saudara saya." Maka Rasul Allah, yang dihantar Tuhan, ketua yang takut kepada Allah, Rasul Allah kepada sekelian alam, yang utama dan tidak ada bandingannya, dan Ali ibn Abi Talib adalah saudara. (The Life of the Messenger of God)
Edward Gibbon: Setelah menghabiskan perjalanan yang merbahaya dan pantas di sepanjang persisiran pantai, Muhammad berhenti di Koba, dua batu dari kota, dan masuk ke Madinah secara terbuka, enam belas hari selepas baginda lari meninggalkan Makkah. Pengikutnya telah berkumpul di sekeliling baginda; dan orang ramai, walaupun mempunyai berbagai kedudukan telah dikenali sebagai Muhajirin dan Ansar, pendatang dari Makkah, penyokong dari Madinah. Untuk menghapuskan perasaan cemburu, Muhammad mempersaudarakan pengikutnya yang utama dengan hak dan tanggungjawab persaudaraan, apabila Ali mendapati dirinya tidak mempunyai pasangan, Rasul dengan penuh kasih sayang mengatakan bahawa baginda akan menjadi sahabat dan saudara kepada remaja yang terhormat ini. (The Decline and Fall of the Roman Empire)
Muhammad Husayn Haykal: Fikiran pertama yang terlintas kepada baginda (Muhammad) adalah untuk menyusun semula kedudukan Muslim supaya dapat mengukuhkan persatuan mereka dan menghapuskan apa juga kemungkinan yang akan memecahkan dan memulakan permusuhan. Dengan kesedaran terhadap objektif ini, baginda meminta Muslim untuk bersaudara di antara satu dengan lain hanya kerana Tuhan dan mengikat mereka di dalam pasangan. Baginda menerangkan bagaimana pun baginda dan Ali adalah saudara … (The Life of Mohammed, 1935)
Muhammad [s.a.w] telah menjadikan Muhajirin dan Ansar ‘saudara’ di antara mereka. Tetapi Ali seperti diri baginda adalah Muhajirin (pendatang), malah baginda (Muhammad) memilih beliau (Ali) untuk menjadi saudaranya. Dengan melakukan ini, baginda telah meninggikan kedudukan Ali ke tahap yang utama di dalam Islam. Ali walaupun masih muda, telah mengalahkan yang lain di dalam berkhidmat kepada Islam dan ketaatan di dalam melaksanakan tugas kepada Allah dan pesuruhNya. Beliau mendapat kedudukan yang tinggi ini dengan berkat kebolehan dan karektor beliau.
Bagaimana pun ini bukanlah kali pertama Rasul Allah mengistiharkan bahawa Ali adalah saudaranya. Sebelum ini, ketika masih berada di Makkah, baginda telah menjadikan sahabatnya yang utama ‘saudara’ di antara mereka. Pasangan ‘saudara’ di Makkah adalah Abu Bakar dan Umar; Uthman bin Affan dan Abdur Rahman bin Auf; Talha dan Zubayr; Hamza dan Zayd bin Haritha; dan Muhammad Mustafa ibn Abdullah dan Ali ibn Abi Talib.
Imam Nuruddin Ali ibn Ibrahim al-Shafei'i telah menyebutkan dari Rasul Allah di dalam bukunya, Seeret Halabia (jilid. II, ms. 120) sebagai berkata: "Ali adalah saudara saya di dunia ini dan juga di akhirat."
Penilaian terhadap peranan Muhajirin dan Ansar
Muhajirin telah kehilangan segala milik mereka di Makkah, dan mereka memasuki Yathrib dengan tangan kosong. Mereka terdiri dari dua kumpulan. Satu kumpulan terdiri dari perniaga dan perdagang sebagai perkerjaan, dan mereka adalah golongan yang sangat kaya. Apabila mereka masuk ke Madinah, mereka memulakan perniagaan, berjaya di dalamnya, dan menjadi kaya semula.
Kumpulan yang satu lagi terdiri dari yang ‘zuhud’ dalam Islam. Mereka adalah yang miskin di Makkah, dan apabila mereka berhijrah ke Madinah, mereka masih memilih untuk menjadi miskin. Mereka menolak kekayaan dunia, mereka tidak pernah memegang kuasa ekonomi di dalam tangan mereka pada bila-bila masa. Wakil kumpulan ini adalah manusia seperti Abu Dharr al-Ghiffari; Ammar ibn Yasir dan Miqdad ibn al-Aswad. Allah memberi mereka penghormatan di dalam kitabNya seperti berikut:
(sebahagian adalah hak) Muhajirin yang miskin, mereka yang telah diusir dari rumah dan harta mereka, ketika mencari keridhaan dan kurniaan Allah, dan membantu Allah dan RasulNya: begitulah mereka-mereka yang benar. (Surah 59; ayat 8)
Ansar melayani Muhajirin dari Makkah, lebih baik dari saudara sendiri telah lakukan. Mereka berikan penginapan di dalam rumah mereka, menjadikan rumah mereka rumahnya; menjadikan mereka rakan kongsi di dalam pertanian, atau memberikan mereka setengah dari tanah mereka. Ansar yang berniaga, menjadikan Muhajirin rakan mereka di dalam perniagaan. Sejarah tidak dapat menghasilkan yang setanding dengan kebajikan Ansar. Mereka adalah ‘tuan ‘rumah’ bukan sahaja kepada Muhajirin yang melarat tetapi juga kepada Islam itu sendiri. Islam yang telah dicabut di Makkah, telah menemui akarnya kembali di Madinah, mula subur dan akhirnya boleh berdikari.
Ansar adalah punca keperluan untuk hidupnya Islam secara fizikal. Di manakah Islam boleh berada dan di manakah Muhajirin hendak pergi jika Ansar tidak memberikan mereka tempat perlindungan? Apabila permusuhan dengan musyirik bermula, adalah pihak Ansar, bukannya Muhajirin, yang menanggung beban peperangan. Tanpa sokongan mereka yang padu kepada Rasul, peperangan di dalam Islam tidak dapat dilakukan, jauh sekali untuk menang. Mereka jugalah penerima penghormatan dan pengiktirafan dari langit, seperti yang kita baca di dalam ayat Al-Qur’an al-Majid:
‘Tetapi mereka yang, mempunyai kediaman [di Madinah] dan telah beriman, - menunjukan kasih sayang kepada yang datang kepada mereka untuk berlindung, dan tidak melayani kehendak, yang ada di dalam hati mereka terhadap apa yang telah diberikan kepadanya [muhajirin], tetapi memberikan keutamaan dari diri mereka, walaupun mereka sendiri berkehendak [miskin]. Dan mereka terselamat dari kekikiran di dalam hati mereka, merekalah yang mendapat kemenangan (Surah 59; ayat 9)
Muhajirin pada mulanya, tidak mempunyai apa-apa untuk membalas kemurnian hati dan kebaikan Ansar. Tetapi pernahkah mereka mengakui untuk berterima kasih? Dapat dilihat bahawa dengan pengecualian dua Muhajirin, yang lain tidak pernah melakukannya. Dua yang terkecuali adalah Muhammad Mustafa, Rasul Allah dan Ali, wazirnya. Mereka mengakui pertolongan yang diberikan oleh Ansar dan tidak pernah lupa untuk berterima kasih dan bersyukur terhadapnya bila sahaja berpeluang untuk menyatakan dengan perbuatan dan percakapan. Lagi pun kedua mereka, Muhammad dan Ali, adalah penjaga dan pemelihara prinsip Islam, dan mereka sedar bahawa Islam telah menemui syurganya di Madinah bersama Ansar. Dari itu Ansar mempunyai tempat yang khusus di dalam hati mereka.
Muhajirin yang selebihnya, i.e., yang kaya di antara mereka, telah mengabai Ansar, tidak seperti Muhammad dan Ali. Apabila kekuasaan berada di dalam tangan mereka, mereka menolak Ansar kebelakang, dan memberi mereka peranan yang kecil. Pada mulanya mereka sekadar mengabaikan Ansar. Tetapi diabaikan tidaklah seburuk jika dibandingkan dengan apa yang menimpa mereka kemudiannya.
(Di antara waktu Syura dan penyuntingan buku ini telah berlaku dua trajedi, iaitu Karbala, apabila Husayn dan pengikutnya telah dibunuh dalam tahun 61 H dan pengeledahan terhadap Madinah dalam tahun 63 H, apabila 10 000 Ansar termasuk tidak kurang dari 80 dari para sahabat Rasul telah dibunuh). – Dipetik dari Pengenalan pada Biografi Rasul oleh Ibn Ishaq).
Muhajirin telah mengecewakan musyirik Makkah - Umayyah. Maka, Ansar adalah musuh terbesar Umayyah. Jika kebajikan Ansar kepada Muhajirin tidak ada tandingnya di dalam sejarah, begitu juga penindasan yang terkemudian [Muhajirin] terhadap penolong mereka [Ansar] tidak ada tandingannya juga. Apabila Muhajirin datang ke Madinah, Ansar adalah ketua mereka. Hanya melalui kebajikan Ansarlah, Muhajirin dapat memasuki Madinah. Tetapi sebaik sahaja Muhammad Mustafa, Rasul Allah, sahabat dan pendorong bagi Ansar, wafat, mereka tidak lagi menjadi ketua di dalam rumah mereka. Wafatnya baginda adalah tanda untuk berputarnya kedudukan mereka.
Sumber: Menyampaikan semula sejarah Islam dan Ummah Muslim oleh Sayyid Ali Asgher Razwy
Cahaya Baru bagi Islam
Yathrib adalah sebuah pekan di padang pasir lebih kurang 250 batu ke Utara Makkah. Di dalam tahun 620 M. enam orang Yathrib menziarahi Makkah untuk haji. Perjumpaan dengan secara kebetulan [tidak dirancang] dengan Muhammad telah membawa mereka bertukar kepada Islam. Mereka memberitahu baginda bahawa mereka telah meninggalkan Yathrib di dalam keadaan yang sangat genting dan peperangan boleh meletus pada bila-bila masa. Tetapi mereka menyatakan harapan mereka supaya Tuhan dapat mengembalikan keamanan kepada kota mereka melalui PesuruhNya. Mereka juga berjanji akan kembali ke Makkah dan berjumpa dengan baginda pada tahun yang akan datang.
Ini adalah permulaan Islam di Yathrib.
Apabila enam Muslim yang baru ini pulang ke Yathrib, mereka bercerita dengan saudara-saudara dan kawan-kawan mereka mengenai Islam, dan mendapati bahawa mereka bersedia, bahkan berminat untuk mendengar. Satu tahun kemudian, apabila musim haji tiba, 12 warga Yathrib termasuk enam orang yang terdahulu, melawat Makkah. Di antara mereka terdapat dua orang wanita. Mereka bertemu dengan Pesuruh Allah di Aqaba. Baginda menerangkan secara ringkas kepada mereka bab agama di dalam Islam. Inilah yang dikatakan perjanjian Pertama Aqaba.
Muslim-muslim ini dengan jujur meyakinkan Rasul Allah bahawa:
Mereka tidak akan menyekutukan apa-apa dengan Allah;
Mereka tidak akan menyembah apa-apa melainkan Allah;
Mereka tidak akan merompak atau mencuri;
Mereka tidak akan membunuh anak-anak perempuan mereka;
Mereka tidak akan menghina orang lain;
Mereka tidak akan merendahkan wanita;
Mereka akan sentiasa jujur dan bersih;
Mereka akan taat kepada Allah dan RasulNya
Dan mereka akan sentiasa setia kepada baginda di sepanjang masa.
Mereka yang baru menerima Islam meminta Rasul Allah menghantar beberapa orang guru bersama mereka ke Yathrib untuk mengajarkan kepada mereka Quran dan juga ajaran mengenai Islam. Baginda menghantar Mas’ab ibn Umayr, salah seorang bapa saudaranya. [Mas’ab adalah sepupu bapanya], bersama kumpulan ini untuk mengembangkan Islam di Yathrib. Misi Mas’ab berjaya, dan ramai keluarga di Yathrib menerima Islam.
Ini adalah kali pertama bahawa Muhammad Mustafa telah memilih seorang pegawai. Professor Margoliouth berkata bahawa Mas’ab ibn Umayr adalah yang pertama seorang pegawai di dalam Islam.
Perjanjian kedua Aqaba
Di dalam tahun 622 M., 75 warga Yathrib datang ke Makkah di dalam musim haji. Rasul bertemu dengan mereka di tempat yang sama di Aqaba di mana baginda telah bertemu kumpulan 12 orang setahun sebelumnya. Kesemua mereka, 75 lelaki dan wanita ini juga telah menerima Islam. Mereka berikan kepada baginda janji setia mereka, dan mempelawa baginda ke Yathrib.
Bapa saudara Rasul, Abbas ibn Abdul Muttalib, ada bersama baginda pada ketika itu. Dia telah dikatakan sebagai berkata kepada ‘tuan rumah’ dari Yathrib: ‘Muhammad telah dipandang mulia oleh kaumnya. Jika kamu akan bersama dengannya di dalam senang dan susah, bawalah dia bersama kamu ke Madinah; jika tidak, maka lupakanlah segala idea tersebut.’
Seorang ketua dari Yathrib, Bera’a ibn Ma’rur. Dia berkata: ‘Apabila kami kanak-kanak, permainan kegemaran kami adalah pedang dan tombak.’ Seorang lagi ketua, Abul Haithum, mencelah dengan berkata: ‘Wahai Pesuruh Allah! Apa akan terjadi, apabila Islam menjadi besar dan kuat? Adakah kamu akan meninggalkan Yathrib dan kembali ke Makkah?’
Muhammad Mustafa tersenyum dan berkata: ‘Tidak, darah kamu adalah darahku, dan darahku adalah darah kamu. Dari hari ini kamu adalah saya dan saya adalah kamu, dan saya tidak akan berpisah kumpulan dengan kamu.’
Muslim Yathrib berpuas hati dengan pengesahan yang diberikan kepada mereka oleh Muhammad Mustafa, dan mereka pulang ke Yathrib untuk menyebarkan Islam di antara kaum mereka. Islam mula membuahkan kemajuan di Yathrib. Ianya kelihatan seperti agama yang baru ini telah menjumpai syurga di dalam kota tersebut, Rasul menyarankan kepada mangsa penindasan di Makkah untuk berhijrah ke sana. Mengikuti saranan baginda, Muslim mula meninggalkan Makkah, di dalam kumpulan yang kecil, dan untuk tinggal di dalam rumah mereka yang baru di Yathrib.
Perjanjian kedua Aqaba adalah mercu tanda di dalam sejarah Islam. Ianya adalah pangkalan yang mana perahu kecil Islam telah dapat berlabuh akhirnya, setelah dipukul gelombang selama 13 tahun di dalam lautan yang bergelora bersama dengan jahiliah di tanah Arab.
Penghijrahan
Apabila kebanyakan Muslim telah meninggalkan Makkah dan menginap di Yathrib, telah dilihat oleh musyirik bahawa Islam kini bertapak di sebuah wadi ke utara mereka, dan telah boleh berdikari, ini menjadi satu ancaman terhadap kepentingan perdagangan mereka di Syria. Mereka melihat Islam sebagai ‘bencana’ baru yang muncul di utara. Dari itu mereka mengadakan perjumpaan di dewan bandaran, di mana mereka membincangkan cara yang paling berkesan untuk menghapuskan bencana ini. Selepas berdebat, mereka bersetuju dengan sebulat suara, bahawa untuk menghapuskan bencana yang baru ini, adalah dengan menghapuskan pengarangnya – diri Muhammad itu sendiri – ketika baginda masih berada di Makkah. Keputusan ini telah menimbulkan beberapa persoalan lain, seperti siapa yang akan membunuhnya, bagaimana, bila dan di mana? Mereka bincangkan persoalan ini dengan lebih lanjut, serta mempertimbangkan beberapa pilihan lain yang ada, dan akhirnya memutuskan, sekali lagi dengan sebulat suara, iaitu seorang wira dari setiap kaum dan suku yang tinggal di Makkah dan persekitarannya, akan dipilih; kesemua mereka akan menyerang rumah Muhammad serentak, dan membunuhnya, sebelum fajar pada keesokkan hari. Tindakan bersepadu begini, mereka yakin, akan ‘melemahkan’ Bani Hashim, yang tidak akan mampu untuk memerangi kesemua mereka pada masa yang sama sebagai membalas dendam terhadap pembunuhan Muhammad.
Bagaimana pun Rasul telah bersedia untuk menghadapi keadaan seperti ini. Setelah diberitahu mengenai rancangan Quraish untuk membunuh baginda, oleh seorang yang telah bertukar kepada Muslim secara rahsia, baginda telah memanggil sepupunya yang setia, Ali ibn Abi Talib, memberitahu beliau rancangan Quraish, dan juga rancangan baginda untuk memperdayakan mereka. Rancangan baginda adalah untuk menempatkan Ali di tempat tidurnya, dan kemudian keluar dari rumah pada ketika berpeluang. Quraish yang melihat Ali ditutupi oleh selimut, akan menyangka bahawa Muhammad sedang tidur. Baginda juga meminta Ali untuk memulangkan semua barangan simpanan musyirik yang ada padanya, kembali kepada tuannya, dan kemudian meninggalkan Makkah dan bertemu dengan baginda di Yathrib. Ali faham semuanya, dan Rasul kemudian menyerahkan beliau kepada perlindungan Tuhan.
Muhammad Husayn Haykal: Orang-orang muda yang Quraish sediakan untuk membunuh Muhammad telah mengepung rumah baginda, mereka khuatir baginda dapat melarikan diri. Pada malam penghijrahan, Muhammad memberitahu rancangannya kepada Ali ibn Abi Talib dan meminta beliau menutup badannya dengan selimut baginda yang berwarna hijau, dan tidur dikatilnya. Baginda juga menyuruh beliau tinggal di Makkah sehingga beliau telah pulangkan semua barang berharga yang disimpan dengan Muhammad kepada pemiliknya. (The Life of Muhammad, Cairo, 1935)
Marmaduke Pickthall: Para pembunuh berada di rumah baginda (Muhammad). Baginda berikan selimut baginda kepada Ali, menyuruh beliau baring di atas katilnya supaya sesiapa yang melihat ke dalam akan menyangka bahawa Muhammad yang berada di sana. (Introduction to the Translation of Holy Qur’an, Lahore, 1975)
Musyirik mengepung rumah Muhammad. Mereka melihat ke dalam dan mendapati tubuh badan yang ditutupi selimut, dan berpuas hati bahawa ‘buruan’ mereka masih selamat. Masa yang sesuai untuk Rasul menyelamatkan diri tiba, selepas tengah malam apabila yang berkawal tertidur. Baginda dengan perlahan berjalan melepasi mereka, keluar dari kawasan rumahnya.
Musyirik yang berkawal telah lalai, dan Rasul Allah telah berjaya melepaskan diri dari kawalan mereka!
Ali tidur di tempat tidur Rasul sepanjang malam. Sejurus sebelum fajar, para pembunuh musyirik menyerbu ke dalam rumah dengan pedang terhunus untuk membunuh Rasul. Tetapi mereka terkejut dan kecewa tidak terkata apabila mereka mengetahui bahawa yang tidur itu adalah Ali bukannya Muhammad. Mereka menangkap Ali untuk disoalsiasat dan mungkin juga untuk diseksa. Tetapi kapten mereka memberitahu bahawa Muhammad belum jauh melarikan diri, dan mungkin mereka masih punya masa untuk menangkap baginda, jika mereka tidak membuang masa yang berharga menyoal Ali, yang kemudiannya telah dilepaskan. Peristiwa ini diraikan di dalam sejarah Islam sebagai Hijrah.
M. Shibli, seorang ahli sejarah India yang terkenal, menulis di dalam biografi Rasul Allah: ...musyirik Makkah benci kepada Muhammad, tetapi mereka percaya kepadanya. Sesiapa yang mempunyai barang berharga, mereka membawa dan menyimpannya kepada Muhammad. Baginda adalah ‘bank’ mereka. Baginda tahu mengenai rancangan Quraish untuk membunuhnya. Baginda memanggil Ali dan berkata: "Allah telah memerintahkan saya supaya pergi ke Yathrib. Kamu tidurlah dikatil saya dan esok pulangkan semua simpanan orang Makkah kepada pemiliknya." Situasi ini mempunyai bahaya yang besar. Ali juga tahu bahawa Quraish telah memutuskan untuk membunuh Rasul Allah pada malam itu, dan untuk tidur dikatil baginda adalah seperti menempah maut. Tetapi bilakah Ali pernah takut kepada mati? Penakluk Khybar ini telah tidur di tempat maut dengan lenyaknya seperti yang beliau belum pernah rasakan sebelum ini di sepanjang hidupnya. (Life of the Apostle of God, Azamgarh, India, 1976)
Rasul tidak punya masa untuk menerangkan kepada Ali secara khusus, berapa banyak yang ada di dalam simpanannya, dan kepada siapa harus dipulangkan. Mencukupi untuk baginda memberitahu Ali supaya memulangkan segala simpanan kepada pemiliknya, dan beliau dapat melakukan. Sama seperti jamuan Dhul-'Asheera, apa yang Rasul perlu lakukan hanya meminta Ali mengundang ketua-ketua suku kaum dari Bani Hashim. Tidak ada arahan khusus yang perlu. Ali terus faham apa yang ketuanya perlukan dari beliau. Dengan diamanahkan untuk mengembalikan simpanan orang Makkah kepada pemiliknya, adalah bukti bahawa Ali dipercayai dan ‘setiausaha sulit’ kepada Rasul Islam walaupun sebelum penghijrahan ke Yathrib.
Jika hijrah menunjukkan ketaatan Ali yang tidak berbelah bagi kepada ketuanya, Muhammad, ianya juga telah memaparkan keberanian beliau. Musuh yang berkawal mungkin telah membunuh beliau kerana mempercayai bahawa beliau adalah Muhammad atau setelah mengetahui bahawa beliau bukan Muhammad telah membunuh beliau disebabkan oleh rasa kecewa dan marah. Beliau faham semuanya, tetapi buat diri beliau tidak ada cabaran yang lebih besar, jika beliau dapat menyelamatkan diri Rasul Tuhan. Di atas ketaatan dan keberanian inilah beliau telah memenangi wahyu di dalam Al-Qur’an al-Majid. Qur’an telah memberikan penghormatan terhadap ketaatan dan keberanian yang ditunjukkan oleh beliau dimalam hijrah seperti berikut:
Dan di antara manusia terdapat seorang yang menjual nyawanya untuk memenangi keridhaan Allah. Allah amat pengasih kepada hambaNya. (Surah 2; ayat 207)
Razi, pengulas Qur’an yang terkenal, berkata di dalam bukunya Tafsir Kabir (vol. II, ms 189) bahawa ayat ini telah diwahyukan sebagai penghargaan terhadap khidmat Ali yang cemerlang pada malam penghijrahan, apabila beliau membolehkan untuk Muhammad, Rasul Allah, meninggalkan Makkah. Disebabkan oleh Ali, baginda dapat berhijrah dengan selamat.
Pada malam yang bersejarah itu, perdagangan yang misteri dan aneh telah berlaku, yang pertama dan terakhir seumpamanya di dalam seluruh sejarah manusia. Ia adalah jual-beli di antara Allah dengan seorang dari hambaNya. HambaNya itu adalah Ali ibn Abi Talib.
Pada malam yang gelap, hening lagi sepi, Allah telah datang ke ‘pasar’ sebagai ‘pembeli’. Dia datang untuk membeli ‘komoditi’ tertentu. HambaNya Ali datang ke ‘pasar’ sebagai ‘pedagang’. Misinya: untuk menjual ‘komoditi’ yang Allah cari. ‘Komoditi’ itu adalah nyawanya!
Allah, ‘pembeli’ melihat kualiti ‘komoditi’ dan mendapatinya yang terbaik. Dia lalu memutuskan untuk membelinya diketika itu juga. Dia membayar ‘harganya’ kepada ‘pedagang’ dan ‘komoditi’ itu berpindah tangan, sama seperti perniagaan yang lain. Semenjak dari saat itu ‘komoditi’ – nyawa Ali – bukan lagi miliknya, dan telah menjadi harta Allah yang khusus. Penjualan dan pembelian di antara Tuan dan hamba telah selesai, dan telah memuaskan kedua-dua pihak.
Terdapat juga ‘saksi’ di dalam urusan ini. Iaitu para malaikat dan bintang – terlalu banyak – yang melihat dari tempat kedudukan mereka. Dengan rasa kagum dan hormat melihat Ali menjual nyawanya kepada Allah. Al-Qur’an al-Majid menjadi "jurucakap" kepada manusia yang dibumi, dan merakamkan apa yang mereka para saksi, lihat pada malam yang bersejarah.
‘Rekod’ urusan ini, seperti yang tersimpan di dalam Qur’an, ada bersama kita sekarang, dan ianya tidak akan musnah. Ia akan kekal di dunia ini selagi malaikat dan bintang-bintang yang menyaksikan urusan kekal dilangit!
Ali telah menjualkan "barangan" itu kepada Allah. Sekarang beliau bebas dari "kerisauan" terhadap keselamatan ‘barangan’ tersebut, beliau dapat tidur dengan lena – dikatil Muhammad Mustafa, Rasul Allah. Pada ‘Malam yang ditentukan’ itu beliau tidur untuk tidur yang abadi. Pada paginya, apabila beliau terjaga, atau apabila beliau dikejutkan oleh bisingnya bunyi tombak dan pedang para pembunuh yang dihantar oleh Quraish, untuk membunuh Muhammad, beliau telah menjadi abadi! [keimanan kepada Allah sepenuhnya. Nyawanya telah dibeli. Pent.]
Dari semua hambanya, Allah memilih Ali untuk melaksanakan rancanganNya. Rancangan itu adalah untuk melindungi RasulNya dari para musuh. Quraish telah merancang untuk menghancurkan Islam. Mereka yakin jika mereka dapat bunuh Muhammad, Islam akan hancur. Maka mereka merancang dan berkonpirasi untuk membunuh Muhammad. Tetapi mereka tidak tahu bahawa Allah mempunyai rancangan tindak balasNya untuk situasi begini. Rancangan tindak balas Allah yang akan menamatkan rancangan Quraish dengan menyelamatkan nyawa RasulNya. Rujukan Qur’an terhadap rancangan tindak balas Allah terdapat di dalam ayat yang berikut:
Dan (yang kafir) berkomplot dan merancang, dan Allah merancang juga, perancang yang terbaik adalah Allah. (Surah 3; ayat 54)
Ali ibn Abi Talib adalah "alat terpenting" di dalam rancangan tindak balas Allah. Peranan Ali menjaminkan kejayaan bagi hijrah Muhammad, dan hanya dengan kejayaan hijrah sahaja yang boleh melahirkan sebuah negara Madinah. Jika hijrah telah gagal, negara Madinah tidak akan wujud. Negeri Madinah adalah perkakasan pertama dan terakhir bagi kerajaan langit dimuka bumi. Allah menjadikan hambaNya, Ali ibn Abi Talib, alat yang melaluinya Dia meletakkan kerajaan itu di dunia.
Apabila Muhammad telah keluar dari kawasan rumah, baginda pergi ke rumah Abu Bakar, dan memberitahu dia bahawa Tuhan telah memerintahkannya untuk meninggalkan Makkah pada malam yang sama. Oleh kerana mereka tidak punya masa untuk dibuang, mereka terus sahaja meninggalkan kota, dan pergi kesebuah gua yang dipanggil Thaur, yang berada diselatan Makkah. Mereka sampai ke gua dan masuk ke dalamnya ketika hari masih lagi gelap.
Mereka sedang bersembunyi di dalam gua, apabila beberapa jam kemudian, para pembunuh juga sampai ke situ, di dalam mengejar mereka. Menurut dari tradisi, labah-labah telah membuat sarang melintasi pintu masuk gua, dan burung telah bertelur padanya. Para pembunuh berhujah bahawa jika sesiapa memasuki gua, sarang labah-labah dan telur akan pecah, dan oleh kerana ianya di dalam keadaan baik maka tiada siapa yang memasukinya. Ini telah meyakinkan mereka bahawa tidak ada pelarian di dalam gua itu, lalu mereka kembali ke Makkah.
Ketika para pembunuh itu berbalah, untuk masuk atau tidak ke dalam gua dan menangkap pelarian yang bersembunyi di dalamnya, Abu Bakar telah dirasuk oleh ketakutan, dan dia berkata kepada Rasul: "Kita hanya berdua dan musuh kita ramai. Apakah peluang kita untuk selamat jika mereka masuk ke dalam gua?" Muhammad berkata: "Tidak. Kita bukan berdua. Ada yang ketiga bersama kita, dan Dia adalah Allah." Peristiwa ini telah dirujuk di dalam Al-Qur’an al-Majid seperti berikut:
Dan Allah membantu RasulNya apabila musyirik mengusir baginda. Dan apabila mereka di dalam gua, baginda berkata kepada yang kedua: "janganlah bersusah hati. Tuhan bersama kita." Dan Tuhan berikan keamanan ke atasnya (atas RasulNya) (Surah 9; ayat 40)
Rasul dan Abu Bakar menghabiskan masa tiga hari di dalam gua. Di Makkah pada masa itu, keinginan untuk menangkap Rasul telah pudar. Pada hari keempat, Abdullah anak lelaki Abu Bakar, membawa dua ekor unta untuk mereka. Abu Bakar berikan seekor kepada Rasul tetapi baginda menolak pemberian itu, dan membayar harganya sebelum unta ditunggang. Baginda dan Abu Bakar menunggang unta dan menyusur melalui pinggir Makkah keutara dan timur, mereka jalan ke arah Yathrib di Utara.
Muhammad ibn Ishaq: Apabila Abu Bakar membawa dua ekor unta kepada Rasul, dia menawarkan yang terbaik kepada baginda dan mempelawa baginda untuk menunggangnya. Tetapi Rasul menolak untuk menunggang binatang yang bukan kepunyaannya, dan apabila Abu Bakar hendak memberinya, baginda berkeras untuk mengetahui berapakah harganya yang baginda harus bayar, dan membelinya dari dia. (Life of the Messenger of God)
Kedua pengembara mengharungi jarak di antara Makkah dan Yathrib dalam masa sembilan hari, dan pada hari kesepuluh mereka tida di Quba, suatu tempat dua batu ke selatan Yathrib di mana mereka tinggal di rumah Kulthum bin Hind, sebagai tetamu. Rasul membuat keputusan untuk menunggu ketibaan Ali dari Makkah sebelum memasuki Yathrib. Dalam masa itu baginda meletakkan tapak untuk masjid Quba. Ianya hanya sekadar struktur yang kasar dan disiapkan dalam masa empat belas hari.
Rasul Allah tiba di Quba pada hari Isnin. Pada Hari Khamis Ali pula tiba. Beliau telah pulangkan wang tunai, barang kemas, dokumen dan barangan lain kepada pemiliknya orang Makkah. Ketuanya bergembira melihat beliau, dan bersyukur kepada Tuhan yang telah mengeluarkannya dengan selamat dari Makkah.
Muhammad ibn Ishaq: Ali tinggal di Makkah selama tiga hari dan tiga malam sehinggalah beliau telah memulangkan segala simpanan yang ada pada Rasul. Setelah selesai, beliau pergi untuk bersama dengan baginda dan tinggal bersama dengan baginda di rumah Kulthum.(The Life of the Messenger of God)
S. Margoliouth: Pada hari Isnin 8hb Rabi-I tahun 1 H., bersamaan September 20 tahun 622 M., Rasul tiba di Kuba, sekarang ini tempat yang baik untuk pertanian. Layanan yang baik telah diberikan oleh seorang tua yang telah memeluk Islam, Kulthum anak kepada Hind, nama bagi "kejayaan" dilihat oleh Rasul sebagai petanda yang baik (Isabah, iii, 1138). Baginda telah menerima tawarannya, walaupun jika untuk bertandang, rumah seorang lagi yang memeluk Islam di dapati lebih menyenangkan. Di Kuba, Rasul berhasrat untuk tinggal di situ sehingga Ali dapat bersama baginda, kebetulan itu terjadi pada hari khamis; bersama beliau adalah Suhaib ibn Sinan, yang telah dipaksa oleh Quraiysh untuk menyerahkan semua simpanannya. Pada hari Jumaat, Rasul menunggang dari Kuba menuju Yathrib, dan telah dikatakan melaksanakan solat di Wadi Ra'unah.(Mohammed and the Rise of Islam, London, 1931)
Laluan telah dipenuhi oleh warga Yathrib yang ramai, dan telah memakai pakaian terbaik untuk bertemasya. Wanita dan kanak-kanak menyanyikan lagu selamat datang dari atas bumbung rumah mereka. Ini adalah satu pandangan yang amat sukar untuk dibayangkan di dalam khayalan. Muhammad, Rasul Allah telah tergerak hatinya dengan sambutan yang sedemikian.
Setiap warga Arab Yathrib bersedia untuk menjadi tuan rumah kepada Rasul Islam yang sedang memasuki kota sebagai tetamu. Tetapi dengan hasrat untuk tidak mengecewakan walaupun warga yang terendah, baginda melepaskan tali kekang unta betinanya, dan menyatakan bahawa baginda akan tinggal di mana sahaja untanya berhenti. Unta itu berjalan melepasi banyak rumah, dan kemudian berhenti di hadapan rumah Abu Ayyub, yang mana dia berbangga dapat menjadi tuan rumah kepada Rasul Tuhan. Abu Ayyub adalah warga Yathrib yang terkenal, dan tergolong di dalam Bani Najjar. Kedua-duanya Aminah, ibu kepada Rasul, dan ibu kepada datuknya, Abdul Muttalib, tergolong di dalam kaum ini.
Tahun Pertama Hijrah
Menurut dari penyiasatan Mahmud Pasha al-Falaki dari Mesir, hari apabila Muhammad Mustafa, Rasul Allah, sampai di Quba adalah Isnin, 8hb Rabi-I tahun ke 13 dari pengistiharannya, tarikh yang bersamaan dengan September 20, 622 M.
Pada hari Jumaat berikutnya, 12hb Rabi-I (September 24), Rasul Allah meninggalkan Quba, dan memasuki Yathrib. Baginda menginap di rumah Abu Ayyub, seperti yang telah dinyatakan.
Pembinaan Masjid di Yathrib
Yang pertama Muhammad Mustafa [s.a.w], lakukan setibanya di Yathrib, adalah membina Masjid untuk menyembah Allah. Di hadapan rumah Abu Ayyub terdapat tanah lapang kepunyaan dua orang anak yatim. Rasul memanggil mereka dan penjaganya, dan memberitahu mereka bahawa baginda hendak membeli tanah tersebut. Mereka memberitahu baginda bahawa mereka merasa senang hati untuk menghadiahkan kepada baginda. Tetapi baginda menolaknya sebagai hadiah, dan berkeras untuk membayar harga tanah tersebut. Mereka akhirnya bersetuju untuk menerima bayaran untuk tanah tersebut. Bayaran telah dibuat dan pecah tanah terus dimulakan.
Menerangkan sebab mengapa Rasul Allah tidak menerima tanah tersebut sebagai hadiah, M. Abul Kalam Azad berkata di dalam bukunya, Rasul-e-Rahmet (Rasul Rahmat), (Lahore, Pakistan, 1970):
Rasul tidak mahu membuat seseorang seperti terpaksa. Siapakah yang boleh mengatakan dirinya lebih taat kepada baginda dari Abu Bakar? Dan baginda sendiri berkata bahawa baginda lebih berterima kasih kepada Abu Bakar untuk sokongan moral dan kebendaan dari yang lainnya. Dan bahkan, apabila Abu Bakar berhasrat untuk memberikan untanya sebagai hadiah pada petang pemergian mereka dari Makkah ke Yathrib, baginda tidak menerimanya, sehinggalah baginda membayar harganya kepada Abu Bakar. Begitu juga di Yathrib, apabila baginda berhasrat untuk membeli tanah untuk mendirikan masjid, tuan punya menawarkan kepada baginda sebagai hadiah. Tetapi baginda menolak untuk menerima sebagai hadiah. Tanah itu diterima apabila tuannya bersetuju untuk menerima bayaran harga tanah dari baginda.
Masjid Yathrib adalah yang paling mudah dari segi reka bentuknya. Bahan yang digunakan untuk pembinaannya adalah batu yang tidak di bakar dan motar sebagai dinding, pelepah kurma sebagai atap dan disokong oleh batang dari pokok palma. Kiblat masjid menghadap ke arah Jerusalem di Utara. Setiap satu dari tiga penjuru ditebuk sebagai pintu. Lantai masjid tidak punya penutup pada mulanya, tidak juga tikar yang kasar. Dua pondok telah dibina pada dinding di sebelah luar, satu untuk Sauda anak perempuan Zama'a; dan satu lagi untuk Aisyah, anak perempuan Abu Bakar, dua isteri Rasul pada ketika itu. Pondok baru didirikan untuk isteri yang baru, apabila mereka datang ditahun-tahun kemudiannya. Inilah kali pertama Muslim berkerja sebagai satu pasukan di dalam projek komuniti [kemasyarakatan]. Di tahun yang akan datang kumpulan ini akan membina edifice [bangunan] Islam yang teragung.
Kehadiran Rasul Allah telah mendorong setiap para sahabat untuk bersaing di antara mereka untuk melakukan yang terbaik. Di antara para sahabat itu Ammar ibn Yasir, yang menurut Ibn Ishaq, adalah orang pertama di dalam Islam yang mendirikan masjid. Ibn Ishaq, tidak menyatakan masjid yang mana Ammar telah dirikan. Tetapai Dr. Taha Husain dari Mesir berkata bahawa Ammar telah membina sebuah masjid di Makkah dan beliau bersolat di dalamnya, lama sebelum beliau berhijrah ke Yathrib.
Ketika masjid sedang dibina satu peristiwa berlaku yang mana Ibn Ishaq telah merakamkannya seperti berikut: "Ammar b. Yasir masuk apabila mereka telah membebani beliau dengan batu-bata sambil berkata, "Mereka membunuh saya. Mereka membebankan saya dengan beban yang mereka sendiri tidak dapat memikulnya." Umm Salama, isteri Rasul berkata: "Saya melihat Rasul mengusap rambut Ammar – yang berambut kerinting dan berkata – "Duhai, Ibn Sumayyah! Bukan mereka yang membunuh kamu, tetapi sekumpulan manusia yang jahat." (Ramalan ini telah dikatakan terjadi apabila Ammar telah terbunuh di Siffin – Suhayli, ii, p.3)
Ali mengubah rangkap rajaz [umpama syair] pada hari itu (apabila masjid sedang dibina):
Terdapat seorang yang berkerja malam dan siang
Untuk mendirikan masjid dari batu dan lumpur
Terdapat seorang dari debu berpaling
Dan dengan cepat larinya
Ammar menghafal dan mula mengalunkannya.
Apabila beliau berterusan memperdengarkannya, seorang dari sahabat Rasul menyangka bahawa dirinya yang telah diperkatakan, menurut dari apa yang Ziyad b. Abdullah al-Bakkai memberitahu saya dari Ibn Ishaq. Sebenarnya Ibn Ishaq menyebutkan nama orang tersebut.
Dia berkata: "Saya telah dengar apa yang kamu telah katakan untuk sekian lama, wahai Ibn Sumayyah, dan demi Allah saya fikir saya akan memukul hidung kamu!" Dia mempunyai kayu di tangannya, dan Rasul telah menjadi marah dan berkata: "Apa masalahnya di antara mereka dan Ammar? Beliau mengajak mereka kesyurga dan mereka mengajak beliau ke neraka. Saya menyayangi Ammar seperti muka saya. Jika sesiapa berkelakuan begini dia tidak akan diampunkan, maka jauhilah dia."
Sufyan b. Uyana menyebut dari penyampaian Zakariya dari al-Shabi bahawa orang pertama untuk mendirikan masjid adalah Ammar bin Yasir.
(Suhayli berkata: Ibn Ishaq ada menyebut nama orang itu, tetapi Ibn Hisham mengutamakan untuk tidak menyebutnya, dengan itu tidak perlulah menyebutkan nama sahabat Rasul di dalam situasi yang buruk. Maka tidaklah dibolehkan untuk bertanya siapakah mereka. Abu Dharr berkata: Ibn Ishaq ada menamakan orang itu dan berkata, "Orang itu adalah Uthman b. Affan." Penyunting Cairo berkata di dalam Mawahib al-Laduniya, al-Qastallani, d. 1517 M., bahawa orang itu adalah Uthman b. Mazun. Penulis yang terakhir ini bolehlah diketepikan dalam perkara ini.) "
Ditapak pembinaan masjid, seseorang dapat menyaksikan pandangan yang menyentuh jiwa dengan cerita di hari-hari pertama Islam Muhammad Mustafa, Rasul Allah, membuangkan debu dengan tangan baginda dari kepala dan muka Ammar ibn Yasar. Baginda tidak memberikan penghormatan sedemikian pada sahabat yang lain dengan tanda rasa kasih, sayang dan belaian.
Apabila Rasul menegur sahabat sahabatnya kerana bergaduh dengan Ammar, dan baginda berkata bahawa beliau [Ammar] mengajak mereka ke syurga sedangkan mereka mengajak beliau ke neraka, baginda mungkin menerangkan ayat 41 dari Surah 40 (Sura-tul-Mumin) di dalam Qur’an yang bererti seperti berikut:
‘Dan wahai kaumku! Betapa anehnya kerana saya memanggil kamu kepada keselamatan sedang kamu memanggil saya kepada neraka.’
Mengulas ayat ini, Abdullah Yusuf Ali, pentejermah Al-Qur’an al-Majid, berkata:
Boleh dikatakan aneh menurut undang-undang dunia ini bahawa baginda mencarikan kebaikan untuk mereka sedang mereka mencarikan untuk kemelaratnya; tetapi itu adalah kemuliaan iman.
Sahabat yang bergaduh dengan Ammar ibn Yasir apabila masjid Yathrib sedang dibina adalah Uthman b. Affan, seorang dari khalifah Muslim yang akan datang. Dia selalu merungut apabila berkerja di dalam debu dan lumpur, yang menjadikan pakaiannya kotor. Apabila Rasul Allah menunjukkan kemarahannya, dia terpaksa berdiam diri, tetapi peristiwa ini membeku di dalam hatinya, dan dia tidak pernah lupa. Beberapa tahun kemudian apabila dia menjadi khalifah, dan mempunyai kuasa di dalam tangannya, dia memerintahkan hambanya untuk menjatuhkan Ammar ibn Yasir dan memukul beliau orang yang disayangi oleh Muhammad Mustafa, Rasul Allah, seperti mukanya sendiri.
Kenyataan bahawa bukannya Uthman bin Affan tetapi Uthman bin Mazun atau orang lain; yang dengan mengancam Ammar ibn Yasir, telah menimbulkan kemarahan Rasul Allah, adalah percubaan untuk membuat pembersihan oleh ahli sejarah ‘istana’ yang kemudian.
Pada ketika ini, Ammar ibn Yasir telah menikmati empat kecemerlangan yang mana telah membuatnya dicemburui oleh para sahabat Muhammad, Rasul Allah, yang lain.
Kecemerlangan itu adalah:
Beliau dari Keluarga Muslim yang Pertama.
Beliau adalah anak kepada Syahid pertama dan kedua di dalam Islam. Ibu Beliau, Sumayyah, adalah syahid pertama, dan bapa beliau, Yasir, adalah syahid kedua. Ini adalah penghormatan yang tidak diperolehi oleh mana-mana sahabat Muhammad Mustafa.
Beliau yang pertama mendirikan masjid.
Beliau yang dikasihi oleh Muhammad Mustafa, Rasul Allah.
Semoga Allah merahmati Ammar ibn Yasir dan kedua ibu bapanya.
Azan dan Solat
Adalah wajib bagi Muslim untuk mendirikan solat lima kali sehari. Mereka hendaklah memberhentikan kerja-kerja harian mereka seketika untuk melaksanakan tugas ini. Tetapi tidak ada cara untuk memberitahu mereka bahawa waktu solat telah masuk.
Menurut tradisi Sunni, seorang sahabat menyarankan kepada Rasul supaya trumpet ditiup atau loceng dibunyikan untuk memberitahu Muslim pada setiap waktu solat. Baginda tidak menerima saranan ini, kerana baginda tidak mahu menggunakan kaedah yang digunakan oleh Yahudi dan Nasrani.
Abdullah bin Ziyad adalah seorang warga Yathrib. Beliau datang berjumpa Rasul dan berkata bahawa ketika dia separuh tidur dan separuh jaga, seorang lelaki menjelma di hadapan beliau dan memberitahunya bahawa suara manusia hendaklah digunakan untuk memanggil yang beriman bersolat; dan orang itu juga mengajarkan azan, dan cara untuk menyebutnya.
Ahli sejarah Sunni mengatakan bahawa Rasul telah tertarik pada pendapat itu, dan terus menerimanya. Baginda kemudian memanggil Bilal, dan mengajarnya bagaimana untuk menyerukan azan, dan melantik beliau sebagai Muezzin yang pertama di dalam Islam.
Cerita ini ditolak oleh Muslim Syi’ah. Mereka katakan, sebagaimana Al-Qur’an al-Majid telah diwahyukan kepada Muhammad Mustafa, begitu jugalah dengan Adhan. Mereka menegaskan bahawa cara menyeru mereka yang beriman untuk solat tidak boleh dibiarkan kepada mimpi atau khayalan sesetengah Arab. Mereka menambah lagi bahawa jika Rasul boleh mengajarkan kepada manusia bagaimana untuk melakukan wudu’, dan bagaimana, bila dan apa yang hendak dibaca di dalam setiap solat, maka baginda juga boleh mengajar mereka bagaimana dan bila untuk memberitahu yang lain bahawa telah tibanya waktu untuk setiap solat.
Menurut dari tradisi Syi’ah, malaikat yang mengajar Rasul Allah bagaimana untuk melakukan wudu’, dan apa yang perlu dibaca di dalam solat, juga telah mengajarkan kepada baginda bagaimana untuk menyeru kepada mereka untuk bersolat.
Yathrib menjadi Madinah
Nama "Yathrib" tidak lama lagi akan lenyap. Manusia mula memanggilnya “Madinah-tun-Nabi,” Kota Rasul. Lama kelamaan cara penggunaannya menjadi singkat dan kini menjadi sebagai “Madinah”, "Kota," dan itulah nama kota Nabi tinggal kekal ke hari ini.
Kumpulan [Kaum] di Madinah
Apabila Rasul dan pedatang dari Makkah tiba di Yathrib [kini Madinah], mereka dapati tiga kaum Yahudi terdapat di sana iaitu, Quainuqa, Nadhir dan Qurayza, dan dua kaum Arab iaitu, Aus dan Khazraj, yang hidup di dalam kota.
E. A. Belyaev: Peduduk asal Madinah terdiri dari tiga kaum Yahudi, Quainuqa, Quraiza dan Nadhir; dan dua kaum Arab, Aus dan Khazraj. (Arabs, Islam and the Arab Caliphate in the Early Middle Ages. 1969)
Kaum Yahudi adalah petani, peniaga, pedagang, peminjam wang, tuan tanah dan pengusaha industri. Mereka telah menjadi kaya melalui amalan riba dan mereka juga menguasai industri persenjataan di Arab.
Dua kaum Arab di Madinah, Aus dan Khazraj, mereka hidup dengan bertani. Sebelum kedatangan Rasul, mereka berdua saling terikat dengan peperangan yang berpanjangan selama lima generasi. Peperangan mereka yang terakhir baru empat bulan berlalu iaitu dalam tahun 618 M., dan itu telah menjadikan mereka rebah dan keletihan.
Terdapat juga sebilangan kecil kristian yang tinggal di Makkah. Mereka tidak berbaik-baik dengan Rasul Islam kerana baginda menyangkal ajaran Triniti [tiga dalam satu], dan mengajarkan ke Esaan yang Menjadikan.
Kumpulan yang keempat yang akan timbul di Madinah kemudian, adalah golongan ‘hipokrit’ dan yang ‘derhaka’ Semasa misi Rasul di Makkah, terdapat ramai Muslim yang terpaksa menyembunyikan keimanan mereka kerana takut akan diseksa. Di Madinah, keadaannya bertentangan. Manusia ini [si hipokrit] jumlah mereka sedikit, mereka menzahirkan keIslaman mereka sedang diri mereka tidak ikhlas. Merekalah punca utama bagi kemusnahan, pengkhianatan dan pemberontakan.
Sistem Pemerintahan Madinah [Piagam]
Warga Yathrib mengakui Muhammad sebagai ketua, dan baginda memberi mereka ‘piagam’ yang dipercayai sebagai dokumen pertama yang ditulis oleh Islam [selain dari Qur’an]. Piagam yang asal seperti yang disimpan oleh Ibn Ishaq, mengandungi empat puluh tujuh (47) fasal. Berikut adalah yang paling mustahak daripadanya:
* Semua perselisihan di antara dua parti di Yathrib hendaklah dirujuk kepada Muhammad, untuk baginda selesaikan.
* Muslim dan Yahudi dapat menikmati hak yang sama.
* Setiap kumpulan di Yathrib hendaklah mengikuti kepercayaan mereka, dan tidak ada kumpulan lain yang boleh mencampuri urusan kumpulan yang lain.
* Di dalam kejadian serangan dari luar ke atas Yathrib, kedua-dua kumpulan iaitu Muslim dan Yahudi hendaklah mempertahankan kota.
* Kedua-dua kumpulan hendaklah menahan dari menumpahkan darah di dalam kota.
* Muslim tidak boleh berperang dengan Muslim lain, disebabkan kerana yang bukan Muslim.
R. V. C. Bodley: Muhammad membuat satu piagam dengan Yahudi, di mana di antara lainnya, adalah dinyatakan bahawa Yahudi dan Muslim hendaklah saling membantu di dalam semua perkara berkaitan dengan kota. Mereka hendaklah menjadi sekutu terhadap musuh yang sama, dan ini tanpa sebarang syarat adalah kewajipan bersama terhadap Islam atau Yahudi. Fasal utama piagam ini adalah seperti berikut: Yahudi yang menjadikan dirinya di dalam ke satuan kami akan mendapat hak yang sama dengan orang-orang kami dengan pertolongan dan kedudukan. Yahudi dari beberapa cabang yang lain yang tinggal di Yathrib hendaklah bersatu dengan Muslim sebagai satu masyarakat. Mereka boleh mengamalkan agama mereka dengan bebas sama seperti Muslim. Hamba yang bebas dan sekutu Yahudi sama-sama dapat menikmati keselamatan dan kebebasan. (The Messenger, the Life of Mohammed, New York, 1946)
Muhajirin dan Ansar
Muhammad menukar nama dua kumpulan Muslim yang hidup di Madinah. Baginda memanggil pendatang dari Makkah "Muhajirin" (pendatang); dan baginda memanggil warga Yathrib yang telah menyambut mereka, "Ansar" (penyokong). Kedua kumpulan ini telah dikenali dengan nama ini sehingga kini.
Keadaan Ekonomi di Madinah
Kekayaan Madinah boleh dikatakan kesemuanya tertumpu di tangan kaum Yahudi. Arab (kini Ansar) hidup dalam kemiskinan dan mengemis. Satu sebab mengapa mereka begitu miskin adalah kerana faedah yang tinggi mereka perlu bayar kepada Yahudi pada setiap pinjaman mereka.
D. S. Margoliouth: Walaupun kita dengar nama satu atau dua orang Yathrib yang kaya tetapi ramai di antara mereka adalah miskin. Di Yathrib, di masa Rasul, hanya terdapat satu pakaian pengantin; barang perhiasan perlu dipinjam dari orang Yahudi. Kemiskinan ini mungkin disebabkan oleh peminjam wang Yahudi. (Mohammed and the Rise of Islam, London, 1931)
Tetapi jika Ansar miskin, Muhajirin adalah papa. Di dalam melarikan diri dari Makkah, mereka telah meninggalkan segala yang mereka miliki, dan apabila mereka datang ke Yathrib mencari perlindungan, mereka tidak punya wang. Sekejap sahaja situasi menjadi buruk. Mereka perlu membuat sesuatu untuk mencari nafkah. Oleh kerana tidak terdapat apa-apa melainkan pertanian, yang terbaik mereka dapat lakukan adalah menjadi buruh diladang Yahudi dan Ansar.
D. S. Margoliouth: Pada mulanya telah diatur bahawa Pendatang hendaklah membantu Penolong [Ansar] di dalam kerja-kerja ladang mereka; tetapi oleh kerana tiada pengalaman dengan kerja-kerja perladangan, mereka hanya mendapat melakukan kerja-kerja yang tidak memerlukan kemahiran, maka sebahagiannya memotong kayu dan mengangkat air, sebahagian diambil berkerja menyiram pokok, membawa kulit binatang di belakang mereka; dan Ali pada satu ketika mendapat upah enam belas kurma kerana mengisi air ke dalam bekas dan menuangnya ke dalam tuangan untuk membuat batu-bata pada kadar satu kurma bagi setiap satu bekas, ini tidak cukup untuk dijadikan sajian, namun begitu beliau berkongsi juga dengan Rasul. (Mohammed and the Rise of Islam, London, 1931)
Untuk menyesuaikan Muhajirin ke dalam kehidupan ekonomi Madinah adalah suatu masalah yang sungguh rumit, dan ia telah mengambil segala ketajaman fikiran Rasul. Baginda tidak mahu mana-mana ahli di dalam masyarakat Muslim, jauh sekali semua Muhajirin, menjadi beban kepada sesiapa, dan telah melakukan apa sahaja untuk mengurangkan pergantungan ke atas Ansar.
Persaudaraan di antara Muhajirin dan Ansar
Salah satu langkah dari usaha Rasul untuk memperbaiki Muhajirin yang terlantar di Madinah, dan untuk menyatukan mereka ke dalam kehidupan sosial dan ekonomi kota, adalah untuk menjadikan mereka ‘saudara’ kepada Ansar. Beberapa bulan setelah baginda sampai di Madinah, baginda memberitahu Muhajirin dan Ansar bahawa mereka hendaklah hidup seperti ‘saudara’ di antara mereka, dan gabongkan mereka seperti berikut:
Muhajirin saudara kepada Ansari
Ammar ibn Yasir " Hudhayfa al-Yamani
Abu Bakar Siddiq " Kharja bin Zayd
Umar bin al-Khattab " Utban bin Malik
Uthman bin Affan " Aus bin Thabit
Abu Dharr al-Ghiffari " Al-Mundhir b. Amr
Mas'ab ibn Umayr " Abu Ayyub
Abu Ubaidah Aamer al-Jarrah " Saad ibn Maadh
Zubayr ibn al-Awwam " Salama bin Waqsh
Abdur Rahman bin Auf " Saad ibn Rabi
Talha bin Ubaidullah " Ka'ab ibn Malik
Ali ibn Abi Talib sahaja yang ditinggalkan tanpa ada saudara. Beliau tertanya-tanya mengapa, apabila Rasul Allah memeluknya dan berkata: "Kamu adalah saudara aku di dunia ini dan juga di akhirat."
Muhammad ibn Ishaq: Rasul sendiri mengambil tangan Ali dan berkata: "Ini adalah saudara saya." Maka Rasul Allah, yang dihantar Tuhan, ketua yang takut kepada Allah, Rasul Allah kepada sekelian alam, yang utama dan tidak ada bandingannya, dan Ali ibn Abi Talib adalah saudara. (The Life of the Messenger of God)
Edward Gibbon: Setelah menghabiskan perjalanan yang merbahaya dan pantas di sepanjang persisiran pantai, Muhammad berhenti di Koba, dua batu dari kota, dan masuk ke Madinah secara terbuka, enam belas hari selepas baginda lari meninggalkan Makkah. Pengikutnya telah berkumpul di sekeliling baginda; dan orang ramai, walaupun mempunyai berbagai kedudukan telah dikenali sebagai Muhajirin dan Ansar, pendatang dari Makkah, penyokong dari Madinah. Untuk menghapuskan perasaan cemburu, Muhammad mempersaudarakan pengikutnya yang utama dengan hak dan tanggungjawab persaudaraan, apabila Ali mendapati dirinya tidak mempunyai pasangan, Rasul dengan penuh kasih sayang mengatakan bahawa baginda akan menjadi sahabat dan saudara kepada remaja yang terhormat ini. (The Decline and Fall of the Roman Empire)
Muhammad Husayn Haykal: Fikiran pertama yang terlintas kepada baginda (Muhammad) adalah untuk menyusun semula kedudukan Muslim supaya dapat mengukuhkan persatuan mereka dan menghapuskan apa juga kemungkinan yang akan memecahkan dan memulakan permusuhan. Dengan kesedaran terhadap objektif ini, baginda meminta Muslim untuk bersaudara di antara satu dengan lain hanya kerana Tuhan dan mengikat mereka di dalam pasangan. Baginda menerangkan bagaimana pun baginda dan Ali adalah saudara … (The Life of Mohammed, 1935)
Muhammad [s.a.w] telah menjadikan Muhajirin dan Ansar ‘saudara’ di antara mereka. Tetapi Ali seperti diri baginda adalah Muhajirin (pendatang), malah baginda (Muhammad) memilih beliau (Ali) untuk menjadi saudaranya. Dengan melakukan ini, baginda telah meninggikan kedudukan Ali ke tahap yang utama di dalam Islam. Ali walaupun masih muda, telah mengalahkan yang lain di dalam berkhidmat kepada Islam dan ketaatan di dalam melaksanakan tugas kepada Allah dan pesuruhNya. Beliau mendapat kedudukan yang tinggi ini dengan berkat kebolehan dan karektor beliau.
Bagaimana pun ini bukanlah kali pertama Rasul Allah mengistiharkan bahawa Ali adalah saudaranya. Sebelum ini, ketika masih berada di Makkah, baginda telah menjadikan sahabatnya yang utama ‘saudara’ di antara mereka. Pasangan ‘saudara’ di Makkah adalah Abu Bakar dan Umar; Uthman bin Affan dan Abdur Rahman bin Auf; Talha dan Zubayr; Hamza dan Zayd bin Haritha; dan Muhammad Mustafa ibn Abdullah dan Ali ibn Abi Talib.
Imam Nuruddin Ali ibn Ibrahim al-Shafei'i telah menyebutkan dari Rasul Allah di dalam bukunya, Seeret Halabia (jilid. II, ms. 120) sebagai berkata: "Ali adalah saudara saya di dunia ini dan juga di akhirat."
Penilaian terhadap peranan Muhajirin dan Ansar
Muhajirin telah kehilangan segala milik mereka di Makkah, dan mereka memasuki Yathrib dengan tangan kosong. Mereka terdiri dari dua kumpulan. Satu kumpulan terdiri dari perniaga dan perdagang sebagai perkerjaan, dan mereka adalah golongan yang sangat kaya. Apabila mereka masuk ke Madinah, mereka memulakan perniagaan, berjaya di dalamnya, dan menjadi kaya semula.
Kumpulan yang satu lagi terdiri dari yang ‘zuhud’ dalam Islam. Mereka adalah yang miskin di Makkah, dan apabila mereka berhijrah ke Madinah, mereka masih memilih untuk menjadi miskin. Mereka menolak kekayaan dunia, mereka tidak pernah memegang kuasa ekonomi di dalam tangan mereka pada bila-bila masa. Wakil kumpulan ini adalah manusia seperti Abu Dharr al-Ghiffari; Ammar ibn Yasir dan Miqdad ibn al-Aswad. Allah memberi mereka penghormatan di dalam kitabNya seperti berikut:
(sebahagian adalah hak) Muhajirin yang miskin, mereka yang telah diusir dari rumah dan harta mereka, ketika mencari keridhaan dan kurniaan Allah, dan membantu Allah dan RasulNya: begitulah mereka-mereka yang benar. (Surah 59; ayat 8)
Ansar melayani Muhajirin dari Makkah, lebih baik dari saudara sendiri telah lakukan. Mereka berikan penginapan di dalam rumah mereka, menjadikan rumah mereka rumahnya; menjadikan mereka rakan kongsi di dalam pertanian, atau memberikan mereka setengah dari tanah mereka. Ansar yang berniaga, menjadikan Muhajirin rakan mereka di dalam perniagaan. Sejarah tidak dapat menghasilkan yang setanding dengan kebajikan Ansar. Mereka adalah ‘tuan ‘rumah’ bukan sahaja kepada Muhajirin yang melarat tetapi juga kepada Islam itu sendiri. Islam yang telah dicabut di Makkah, telah menemui akarnya kembali di Madinah, mula subur dan akhirnya boleh berdikari.
Ansar adalah punca keperluan untuk hidupnya Islam secara fizikal. Di manakah Islam boleh berada dan di manakah Muhajirin hendak pergi jika Ansar tidak memberikan mereka tempat perlindungan? Apabila permusuhan dengan musyirik bermula, adalah pihak Ansar, bukannya Muhajirin, yang menanggung beban peperangan. Tanpa sokongan mereka yang padu kepada Rasul, peperangan di dalam Islam tidak dapat dilakukan, jauh sekali untuk menang. Mereka jugalah penerima penghormatan dan pengiktirafan dari langit, seperti yang kita baca di dalam ayat Al-Qur’an al-Majid:
‘Tetapi mereka yang, mempunyai kediaman [di Madinah] dan telah beriman, - menunjukan kasih sayang kepada yang datang kepada mereka untuk berlindung, dan tidak melayani kehendak, yang ada di dalam hati mereka terhadap apa yang telah diberikan kepadanya [muhajirin], tetapi memberikan keutamaan dari diri mereka, walaupun mereka sendiri berkehendak [miskin]. Dan mereka terselamat dari kekikiran di dalam hati mereka, merekalah yang mendapat kemenangan (Surah 59; ayat 9)
Muhajirin pada mulanya, tidak mempunyai apa-apa untuk membalas kemurnian hati dan kebaikan Ansar. Tetapi pernahkah mereka mengakui untuk berterima kasih? Dapat dilihat bahawa dengan pengecualian dua Muhajirin, yang lain tidak pernah melakukannya. Dua yang terkecuali adalah Muhammad Mustafa, Rasul Allah dan Ali, wazirnya. Mereka mengakui pertolongan yang diberikan oleh Ansar dan tidak pernah lupa untuk berterima kasih dan bersyukur terhadapnya bila sahaja berpeluang untuk menyatakan dengan perbuatan dan percakapan. Lagi pun kedua mereka, Muhammad dan Ali, adalah penjaga dan pemelihara prinsip Islam, dan mereka sedar bahawa Islam telah menemui syurganya di Madinah bersama Ansar. Dari itu Ansar mempunyai tempat yang khusus di dalam hati mereka.
Muhajirin yang selebihnya, i.e., yang kaya di antara mereka, telah mengabai Ansar, tidak seperti Muhammad dan Ali. Apabila kekuasaan berada di dalam tangan mereka, mereka menolak Ansar kebelakang, dan memberi mereka peranan yang kecil. Pada mulanya mereka sekadar mengabaikan Ansar. Tetapi diabaikan tidaklah seburuk jika dibandingkan dengan apa yang menimpa mereka kemudiannya.
(Di antara waktu Syura dan penyuntingan buku ini telah berlaku dua trajedi, iaitu Karbala, apabila Husayn dan pengikutnya telah dibunuh dalam tahun 61 H dan pengeledahan terhadap Madinah dalam tahun 63 H, apabila 10 000 Ansar termasuk tidak kurang dari 80 dari para sahabat Rasul telah dibunuh). – Dipetik dari Pengenalan pada Biografi Rasul oleh Ibn Ishaq).
Muhajirin telah mengecewakan musyirik Makkah - Umayyah. Maka, Ansar adalah musuh terbesar Umayyah. Jika kebajikan Ansar kepada Muhajirin tidak ada tandingnya di dalam sejarah, begitu juga penindasan yang terkemudian [Muhajirin] terhadap penolong mereka [Ansar] tidak ada tandingannya juga. Apabila Muhajirin datang ke Madinah, Ansar adalah ketua mereka. Hanya melalui kebajikan Ansarlah, Muhajirin dapat memasuki Madinah. Tetapi sebaik sahaja Muhammad Mustafa, Rasul Allah, sahabat dan pendorong bagi Ansar, wafat, mereka tidak lagi menjadi ketua di dalam rumah mereka. Wafatnya baginda adalah tanda untuk berputarnya kedudukan mereka.
Sumber: Menyampaikan semula sejarah Islam dan Ummah Muslim oleh Sayyid Ali Asgher Razwy
Percubaan Yahudi Mencuri Jasad Rasulullah saw
Di masa peperangan antara orang Islam dengan orang-orang kafir Kristian yang dikenali dengan perang Salib dan telah berlangsung sekian lama. Kemenangan dan kekalahan silih berganti pada kedua belah pihak. Umat Islam berjuang dengan habis-habisan menentang musuhnya. Segala kekuatan dikerahkannya. Kerana pada waktu itulah kesempatan yang paling baik untuk memperolehi syahid di medan perang sebagaimana yang diperolehi para sahabat Rasulullah dalam perjuangan menentang orang kafir yang cuba melenyapkan Islam.
Raja-raja dari semua kerajaan Islam memberikan sokongan padu kepada setiap panglima perang yang tampil memimpin para pahlawan Islam menentang kaum kafir Kristian yang datang dari Eropah. Salah seorang raja yang banyak jasanya dalam perang Salib ini adalah Sultan Nuruddin Zangki (Zenggi), keturunan bangsa Kurdi dan berkedudukan di Mosul. Baginda yang diputerakan tahun 1118 Masihi dan wafat 1174 Masihi, adalah seorang raja yang terkenal taqwa, wara' dan adil. Kerana keadilannya pula hingga digelari Malikul Adil (Raja yang adil). Pada waktu malam baginda bangun untuk solat tahajjud dan berdoa agar rakyatnya hidup bahagia dalam keredhaan Allah dan terselamat di akhirat nanti. Pada sebelah siang beliau banyak berpuasa dan selepas solat, wiridnya sentiasa panjang.
Seluruh kekuatan yang dimilikinya adalah untuk menentang serangan tentera Salib agar tidak dapat menjajah negara Islam. Beliaulah yang membentangkan jalan kepada Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Salib di pihak Islam yang telah berjaya membebaskan bumi Palestin dari cengkaman kaum Salib. Baginda sentiasa tenang dan gembira melayan semua rakyat dan menteri-menterinya, sekalipun negara dalam keadaan darurat perang, kerana beliau sudah bermimpi berjumpa Rasulullah SAW pada suatu malam. Dalam mimpi itu Sultan Nuruddin melihat Rasulullah dalam keadaan gembira, menandakan perjuangan kaum Muslimin yang dipimpinnya dalam berjihad akan berhasil.
Selanjutnya, suatu hari Malikul Adil kelihatan tidak seperti biasanya, kali ini baginda nampak sangat risau, seolah-olah ada yang tidak kena pada dirinya. Menteri-menterinya menyedari hal ini, namun mereka tidak berani bertanya. Kerisauan dan kegelisahan tersebut berpunca daripada mimpinya beberapa malam yang lalu. Mimpi itu sangat mengerikan dan sukar ditafsirkan. Dalam mimpi itu, baginda memakai baju yang cantik gemerlapan dan berada di hadapan Rasulullah. Rasulullah memegang tangan Nuruddin dan menunjuk kepada dua orang lelaki yang berada di hadapannya dan bersabda: "Kenalilah aku. Bebaskan aku dari dua orang itu!" Nuruddin terbangun, namun wajah Rasulullah dan dua orang lelaki itu kelihatan jelas di hadapannya seperti bukan mimpi. Wajah kedua lelaki itu kelihatan kemerah-merahan.
Tidak seorang pun yang diberitahu tentang mimpi itu, dan beliau yakin bahawa yang datang itu benar-benar Rasulullah SAW. Kerana beliau sendiri telah bersabda: "Siapa yang melihat aku dalam mimpi, samalah ertinya dengan melihat aku di waktu bangun, kerana syaitan tidak akan dapat menyerupai aku." Keyakinan Raja Nuruddin akan kesahihan mimpinya itu dikuatkan lagi oleh mimpinya yang dahulu sehubungan dengan peperangan. "Ketika itu Rasulullah kelihatan sangat gembira sekali. Tapi mengapa kali ini baginda kelihatan amat sedih? Dan siapakah gerangan dua lelaki yang ditunjuk oleh Rasulullah itu?" Nuruddin tidak habis-habis merenung dan berfikir: "Ah, ini tentu ada yang tidak mengena pada keperibadian Baginda yang mulia atau akan ada sesuatu yang mengancam maruah umat Islam," kata Nuruddin dalam hatinya.
Dekat seminggu lamanya Raja adil itu memikirkan dengan risau. Tiba-tiba mimpi itu berulang lagi, peristiwa seperti mimpi yang pertama dan Rasulullah memanggil-manggil Nuruddin lagi: "Kenalilah aku dan bebaskan aku dari dua orang itu!" Baginda terkejut dan bangun kemudian langsung berwudhu', terus bersolat tahajjud dan berzikir sebanyak-banyaknya di malam sunyi itu. Kerana terlalu lama berzikir, baginda tertidur dalam duduk dan wajah Rasulullah menjelma lagi. Dalam masa yang tidak seberapa lama, sudah tiga kali beliau berjumpa Rasulullah dalam keadaan muram. "Perkara ini benar-benar serius agaknya dan tidak boleh ku simpan seorang sahaja," kata Nuruddin pada dirinya sendiri. Apabila baginda tergerak hatinya untuk memanggil orang kepercayaannya, baginda teringat akan sabda Rasulullah: "Bahawa apabila seseorang bermimpi buruk, hendaklah jangan diceritakan kepada sesiapa pun. Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa." Nuruddin berfikir sekejap. Sanggupkah dia menyimpan mimpi itu seorang diri? Tidak, mimpi itu sudah tiga kali datang, dan yang datang adalah manusia termulia.
Selepas solat Subuh di pagi hari Raja Nuruddin memanggil seorang menteri kepercayaannya, Jamaluddin Al-Mushly. Lelaki itu sangat wara', taqwa dan amanah seperti Rajanya juga. Oleh kerana itu, dialah satu-satunya orang yang dipanggil oleh Nuruddin sehubungan dengan mimpinya. Kerana Nuruddin yakin, bahawa walau bagaimanapun Jamaluddin tidak akan membocorkan rahsia negara dan raja. Hari masih terlalu pagi, suasana masih gelap, di sana sini kedengaran kokok ayam silih berganti dan waktu kerja pun masih lama lagi akan bermula. Namun menteri Jamaluddin Al-Mushly sudah berangkat ke istana negara kerana menjunjung titah baginda.
"Engkau adalah orang yang paling ku percaya untuk menyimpan rahsia negara selama ini. Oleh kerana itu aku tidak merasa ragu lagi menceritakan mimpiku padamu," kata Raja kepada Jamaluddin dan menceritakan mimpi yang dialaminya. Jamaluddin mendengarkan dengan serius. Ia sendiri turut merasa gerun mendengarkan cerita Rajanya. Kemudian Jamaluddin berkata: "Ini memang betul-betul mimpi yang benar wahai tuanku, kerana syaitan tidak akan dapat menyerupai Rasulullah." "Betul itu. Aku pun ingat demikian," kata Nuruddin menyokong pendapat Jamaluddin. Nuruddin bertanya: "Jadi, agak-agak apakah pendapatmu tentang mimpiku itu." Jamaluddin menjawab: "Menurut pendapat hamba, ada rancangan jahat dari orang tertentu yang ditujukan kepada Rasulullah, dan Rasulullah tidak menyenanginya. Tuanku diberi tugas untuk menggagalkan rancangan jahat tersebut."
Nuruddin seolah-olah dikeluarkan dari kebuntuannya setelah mendengar tafsiran daripada Jamaluddin. Baginda percaya bahawa pendapat menterinya itu benar belaka. Berkata Nuruddin: "Pendapatmu betul, sekarang ke mana dan bagaimana kita mesti mencari dua lelaki yang ditunjuk oleh Rasulullah itu?" Jamaluddin mengajukan usul: "Bagaimana kalau sekiranya baginda raja yang pergi ke Madinah Al-Munawwarah terlebih dahulu. Di sanalah tuanku dapat berdoa di makam Rasulullah yang mulia, memohon petunjuk kepada Allah di sisi kubur kekasihNya. Mudah-mudahan, di sana tersingkap rahsia mimpi paduka itu."
Semua persediaan dan perbekalan segera dipersiapkan. Maka pada hari yang telah ditetapkan, beribu-ribu rakyat ibu kota berpusu-pusu di hadapan istana negara untuk mengucapkan selamat jalan kepada Raja yang mereka hormati. Berangkatlah Raja yang adil bersama beberapa pegawai tinggi negara menuju Madinah.
Di setiap kampung yang dilaluinya, baginda disambut mesra oleh rakyatnya. Baginda merasa puas dapat berjumpa dengan berbagai rakyatnya. Rakyat pun berasa gembira melihat Raja yang berjiwa rakyat dan tidak putus-putusnya tersenyum kepada semua rakyat. Namun, di sebalik senyuman raja yang dilepaskan kepada rakyatnya, ada perasaan risau dan ngeri yang menghantui baginda secara berterusan. Yakni wajah kedua lelaki yang dilihat dalam mimpinya selalu membayangi kemana sahaja baginda pergi. Tidak sesaat pun wajah itu hilang dari pandangan baginda. Baginda juga dapat menggambarkan dengan jelas tentang perwatakan kedua lelaki itu baik dari bentuk wajahnya, matanya, susunan giginya, mulutnya, janggutnya bahkan kesemua seluruh tubuh kedua mereka itu. Kalau, kedua lelaki itu melintas di hadapan baginda maka sudah pasti, baginda akan menangkapnya. Disebabkan baginda sentiasa asyik memikirkan tentang kedua lelaki itu, kadang-kadang baginda terpisah dari rombongannya. Baginda tidak putus asa untuk mencari kedua lelaki itu, baginda pergi secara persendirian mengembara antara bukit-bukit.
Para pengawal tidak berani menegur apa-apa sebaliknya mereka hanya memerhatikan Raja mereka dari jauh. Hanya menteri Jamaluddin sahaja yang sesekali mengingatkannya apabila beliau terpisah jauh dari rombongan. Setelah beberapa hari perjalanan, rombongan baginda sampai di sempadan Madinah. Jamaluddin memberitahu baginda: "Tuanku, sekejap lagi kita akan memasuki ke kota Rasulullah SAW, oleh itu bersiap sedialah tuanku." Berkata Raja: "Apakah cara yang harus aku lakukan untuk memasuki kota yang mulia itu?" Berkata Jamaluddin: "Pertama hendaklah tuanku mandi dan bersuci, kemudian masuklah ke masjid Quba' dan bersolat tahiyyatul masjid, ini adalah untuk menghormati masjid yang dibina dengan tangan Rasulullah SAW sendiri." Kemudian Raja dan rombongannya mengikut arahan Jamaluddin, setelah selesai mengerjakan solat di masjid Quba', rombongan diraja menuju ke taman Raudhah. Di taman yang mulia inilah jenazah yang teramat mulia Rasulullah SAW bersemadi.
Perasaan mereka yang berada di hadapan tempat jenazah baginda Rasulullah SAW disemadikan adalah amat berlainan sekali, mereka berasa seolah-olah berada di satu alam yang lain. Lalu Raja mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan memohon kepada Allah SWT supaya rahsia di sebalik mimpinya itu di perlihatkan kepadanya sebelum kedua manusia jahat melaksanakan niat jahat mereka. Degupan hati Raja yang begitu khusyuk dalam doanya menyebabkan air mata mengalir tanpa disedarinya. Memang di sinilah salah satu tempat diperkenankan doa. Wajah Rasulullah SAW semakin jelas di mata Raja seolah-olah Rasulullah SAW menghulurkan tangan untuk bersalaman dengan Raja. Baginda terdengar suara dekat telinganya yang berbunyi: "Kenalilah aku, dan bebaskanlah aku dari kedua lelaki ini."
Setelah baginda raja berdoa dengan penuh khusyuk di taman Raudhah, kemudian datang petunjuk dari Allah seolah-olah beliau dapat menyingkap tafsir mimpinya itu di kota mulia tempat bersemayamnya Rasulullah SAW. Oleh kerana Raja Nuruddin ingin segera mengetahui makna mimpinya yang menakutkan itu, lalu beliau memanggil gabenor Madinah dengan berkata: "Saya mahu kamu kumpulkan kesemua penduduk Madinah tanpa ada sesiapa pun yang dikecualikan, saya ingin bersalaman dengan mereka." Berkata gabenor Madinah: "Baik tuanku, segala titah raja akan dijalankan." Gabenor Madinah pun segera menyampaikan pesanan raja kepada penduduk Madinah dan penduduk yang berhampiran dengan kota Madinah.
Berkata gabenor Madinah kepada penduduk kota Madinah dan sekitarnya: "Atas perintah Raja Nuruddin, semua rakyat Madinah dan kawasan yang berhampiran denganya, sama ada lelaki atau wanita, tua atau muda dari berbagai jenis agama dikehendaki hadir di dewan orang ramai, kerana baginda Raja Nuruddin hendak bertemu dengan semua penduduk di sini." Setelah berita disebarkan maka orang ramai bersama seisi keluarga segera pergi ke dewan orang ramai dengan perasaan gembira, tidak seorang pun yang tertinggal. Mereka yang tua dan uzur diusung sehingga banyak sekali usungan yang kelihatan dalam perjalanan menuju ke dewan orang ramai. Apabila seluruh penduduk kota Madinah telah berkumpul, gabenor Madinah pun melapurkan kepada Raja: "Tuanku, semua rakyat telah berkumpul dan mereka sedang menunggu kehadiran tuanku." Berkata Raja Nuruddin: "Apakah kamu yakin bahawa semua rakyat telah datang untuk bersalaman dengan saya?" Berkata gabenor Madinah. "Insya Allah." Setelah Raja mendengar penjelasan dari gabenor, Madinah, maka Raja pun segera pergi ke tempat orang ramai yang sedang menunggunya. Wajah kedua lelaki yang datang dalam mimpinya semakin mencabar di hadapannya.
Setelah baginda Raja sampai di tempat dewan orang ramai, maka baginda pun memandang kepada rakyat sebagai penghormatan. Mata Raja Nuruddin sentiasa mencari-cari wajah yang menjadi buruannya, tetapi tidak juga kelihatan. Raja Nuruddin semakin risau, beliau duduk sekejap dan berbincang dengan pegawai-pegawai dari Madinah. Berkata Raja, Nuruddin: "Apakah masih ada rakyat yang melepaskan peluang untuk bertemu dengan saya? Cuba siasat sekali lagi." Kemudian para pegawai dari kota Madinah berbincang sesama mereka, mereka cuba mengingati wajah-wajah yang tidak hadir. Tiba-tiba seorang pegawai berkata dengan serius dan bersemangat: "Betul tuanku, hamba ingat masih ada dua orang kenamaan di Madinah yang tidak hadir di sini, mungkin kedua mereka tidak mendengar berita tentang ketibaan baginda tuanku ke sini."
Raja Nuruddin berkata: "Di mana mereka berada, dan siapakah mereka itu?" Denyutan jantung Raja Nuruddin semakin cepat, tetapi beliau menahan perasaannya. Orang yang mengenali kedua lelaki itu berkata: "Mereka berdua adalah ahli tasawwuf dan ahli hikmah, sangat wara' dan sangat banyak ibadahnya, sesiapa sahaja yang pergi kepada mereka akan menerima fatwa-fatwa yang menyejukkan dan menerima sedekah. Dan kedua mereka juga adalah dermawan dan telah banyak sekali membantu fakir miskin." Raja Nuruddin sangat tertarik dengan huraian pegawainya dan beliau berkata: "Saya ingin sangat untuk bertemu dengan kedua mereka, jemputlah mereka sekarang juga."
Tidak berapa lama kemudian kedua mereka itu pun datang ke dewan orang ramai setelah diundang. Kedua mereka berjalan dengan tunduk dan tawadhu', sementara mulut mereka tidak berhenti-henti berzikir kepada Allah SWT. Apabila kedua mereka berdiri di hadapan Raja Nuruddin, Raja Nuruddin terperanjat kerana kedua mereka itulah yang muncul dalam mimpinya. Dalam hati Raja Nuruddin berkata: "Demi Allah orang inilah yang datang dalam mimpiku." Walaupun kedua mereka itu berada di hadapan beliau, beliau belum pasti sama ada beliau bermimpi atau tidak, lalu beliau menggosok kedua biji mata beliau dan dibukanya mata beliau terang-terang. Ternyata kali ini beliau tidak mimpi, beliau kini berada betul-betul di hadapan orang yang menjadi buruan beliau. Raja Nuruddin memandang mereka dari semua segi, dari segi bentuk muka mereka, susunan gigi, mata dan lain-lain. Akhirnya beliau meyakini dengan seratus peratus bahawa memang sah kedua lelaki itulah yang muncul dalam mimpinya. Kalau ikutkan hati Raja Nuruddin hendak ditanya sahaja: "Siapakah kamu berdua ini." Raja Nuruddin bertambah hairan melihat kedua mereka, ini adalah kerana kedua mereka itu begitu khusyuk dan tawadhu', gerak-geri mereka tidak sedikit pun mencurigakan.
Segi rambut pula ikut sunnah, serban pula ikut cara Rasulullah. Sewaktu bersalaman menunjukkan adab seorang alim dan ahli tasawwuf, tutur katanya pula penuh hikmah dan selalu berasaskan Al-Quran dan Al-Hadith. "Tetapi mengapa Rasulullah minta dibebaskan dari dua orang itu? Apakah dosa yang telah diperbuat oeh keduanya? Begitulah pertanyaan yang keluar dari hati Raja Nuruddin. Beliau hairan dan tidak tahu apa yang hendak dibuat, namun demikian tidak seorang pun yang dapat membaca perasaan Raja Nuruddin. Raja Nuruddin serba salah kerana orang ramai mengenali kedua mereka sebagai orang yang alim dan menunjukkan sikap yang penuh tasawwuf, baginda Raja juga menghormati kealiman dan ketasawwufan mereka. Oleh kerana Raja Nuruddin tidak dapat membuat apa-apa keputusan maka majlis pada hari itu bersurai setelah baginda Raja bersalam dengan semua rakyatnya seperti yang dijanjikan. Setelah majlis perhimpunan yang pertama selesai, orang ramai pun bersurai dan mereka merasa puas hati kerana dapat bersalam dengan Raja mereka. Gebenor Madinah merasa sangat gembira kerana majlis itu mendapat sambutan yang sungguh menggalakkan. Satu-satunya orang yang tidak puas hati ialah Raja Nuruddin, kerana teka-teki yang menghantuinya belum terjawab.
Selepas menunaikan solat Raja Nuruddin beristighfar dan berzikir banyak-banyak, kemudian beliau berdoa dengan doa yang amat panjang, dalam doa tersebut beliau meminta petunjuk yang lebih jelas dari Allah SWT. Ketika Raja Nuruddin duduk bersendirian, lalu datang menterinya Jamaluddin dengan berkata: "Wahai tuanku, sudahkah tuanku jumpa dengan dua lelaki yang tuanku cari itu?" Berkata raja Nuruddin: "Ya, sudah." Jamaluddin bertanya: "Yang mana satu tuanku?" Berkata Raja Nuruddin: "Jemputan yang terakhir sekali, saya pasti itulah orang yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW dalam mimpiku." Jamaluddin diam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda dia sedang memikirkan sesuatu. Berkata Raja Nuruddin: "Tapi yang peliknya saya tidak dapat sesuatu yang mencurigakan pada diri mereka itu, keadaan keduanya memang seperti yang diceritakan oleh orang. Akhlaknya, gerak-gerinya dan tutur katanya semuanya menggambarkan keperibadian Rasulullah SAW. Inilah yang membuat saya rasa pelik sangat, entah dosa apa yang telah mereka lakukan?"
Setelah Jamaluddin mendengar kata-kata Rajanya maka dia pun berkata: "Tuanku, ketahuilah bahawa seseorang yang pada zahirnya menunjukkan baik, segalanya mengikut cara Rasulullah SAW belum tentu hatinya baik. Boleh jadi ia hanya berpura-pura supaya orang ramai tidak mencurigainya, padahal dia adalah musuh yang jahat."
Berkata Raja Nuruddin: "Betul katamu itu, kerana memang ramai orang-orang kafir berpura-pura Islam, sedangkan tujuannya untuk menghancurkan Islam dari dalam. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran yang bermaksud: "Dan di antara manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia, sangat menarik perhatianmu, dan di persaksikannya Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia sebenarnya adalah musuh yang jahat."
Raja Nuruddin memang tahu tentang tipu helah orang-orang kafir yang sentiasa hendak merosakkan Islam dengan berbagai cara. Berkata Raja Nuruddin lagi: "Apakah yang harus kita lakukan?" Berkata Jamaluddin: "Tuanku mestilah mengadakan perisikan ke rumah orang itu secara sulit." Raja Nuruddin dan menterinya Jamaluddin mengadakan perbincangan secara rahsia tentang cara yang terbaik untuk mendapatkan maklumat tentang pergerakan kedua lelaki yang disyaki. Setelah sekian lama mereka berbincang akhirnya mereka mendapat satu cadangan yang baik, yakni orang ramai dijemput untuk menghadiri rumah terbuka atas arahan Raja Nuruddin.
Kedua orang yang disyaki juga diundang sebagai tetamu kehormat. Rahsia ini tetap menjadi rahsia antara Raja dengan menterinya. Gabenor Madinah diberikan tugas untuk menjayakan majlis tersebut. Setelah saat yang dinantikan telah tiba, maka ramailah orang yang datang menghadiri majlis tersebut. Kedua lelaki yang disyaki juga awal-awal lagi telah berangkat menuju ke majlis diraja. Apabila Raja Nuruddin dan Jamaluddin melihat kedua lelaki alim itu telah keluar dari rumah mereka, kemudian Raja Nuruddin, Jamaluddin dan beberapa pengawal pergi ke rumah orang alim itu. Kesemua bahagian dalam rumah itu di periksa oleh Raja Nuruddin, malangnya tidak satu pun benda yang mencurigakan. Sebaliknya dalam rumah tersebut terdapat banyak ayat-ayat Al-Quran yang digantung dan juga hadith nabi. Dalam almari orang alim itu dipenuhi dengan kitab-kitab agama feqah dan juga tasawwuf, keadaan rumah itu menggambarkan seolah-olah pewaris Nabi SAW. Hati kecil Raja Nuruddin masih bertanya:
"Apalagi yang harus aku syaki? Kenapa Baginda Rasulullah SAW minta pertolongan dariku supaya dibebaskan dari kedua lelaki ini?"
Setelah merasa puas dengan selidikan di rumah tersebut Raja Nuruddin mengambil keputusan untuk keluar dari rumah tersebut, tetapi apabila baginda Raja hendak melangkah keluar dari rumah tersebut, datang ilham yang membuat beliau teringin benar untuk melihat sebuah permaidani yang sangat indah terbentang di sudut rumah. Raja Nuruddin merasa sangat kagum dengan keindahan dan kehalusan permaidani yang di anggap cukup mahal itu.
Raja Nuruddin tidak puas dengan melihat sahaja kecantikan permaidani tersebut, tetapi beliau membelek-belek permaidani tersebut. Sewaktu membelek permaidani itu Raja Nuruddin terlihat di bawah permaidani itu terdapat papan dan beliau berkata: "Eh, ada papan." Raja Nuruddin mulai curiga tentang papan itu, lalu baginda mengangkat papan itu perlahan-lahan, ternyata di bawah papan itu mempunyai sebuah terowong yang mempunyai tangga. Raja Nuruddin meneliti arah perginya terowong tersebut, akhinya beliau terkejut dan berkata: "Maasya Allah, terowong ini menuju ke arah kubur Rasulullah SAW." Kemudian Raja Nuruddin mengeluarkan arahan: "Tangkap kedua orang itu." Dengan terbongkarnya rahsia itu maka yakinlah Raja Nuruddin akan makna mimpinya itu, kedua lelaki yang menyamar sebagai alim itu adalah musuh yang hendak mencuri jasad Rasulullah SAW. Dengan terbongkarnya rahsia kedua orang itu,
maka orang ramai pun datang untuk menyaksikan peristiwa di rumah orang alim itu.
Beberapa orang telah turun ke dalam terowong yang sangat jauh itu dan akhirnya mereka mendapati bahawa terowong yang digali oleh kedua orang itu sudah hampir benar dekat pada jasad Rasulullah SAW. Setelah mendapat kepastian dari orang yang masuk ke dalam terowong itu, orang ramai tidak tahan sabar lagi. Lalu kedua-dua mereka dipukul dengan teruk sekali, kemudian kedua mereka dibawa ke pengadilan. Dalam mahkamah keduanya berterus terang dengan berkata bahawa kedua-dua mereka telah tinggal di Madinah lebih dari setahun sebagai agen Yahudi. Orang-orang Yahudi memberi perbelanjaan yang cukup banyak pada keduanya untuk tujuan mencuri jasad Rasulullah dari kuburnya, tujuannya ialah apabila jasad Rasulullah berada di tangan Yahudi mereka dengan mudah dapat merendahkan martabat Kekasih Allah dan seterusnya menghina umat Islam. Umat Islam di Madinah rasa tertipu oleh kedua orang Yahudi itu,
akhirnya kedua orang Yahudi itu dijatuhi hukuman mati.
Raja Nuruddin sujud syukur kepada Allah SWT kerana tugas yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepadanya telah berjaya diselesaikan dengan berkat hidayah dan pertolongan-Nya. Untuk mengelakkan supaya kejadian seperti itu tidak berulang lagi, Raja Nuruddin memerintahkan supaya ke empat penjuru sekeliling kubur Rasulullah dipagar dengan kongkrit sampai ke bawah tanah. Sebelum Raja Nuruddin berlepas dari Madinah sekali lagi beliau bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW, kali ini Rasulullah merangkul dan memeluk leher beliau. Apabila telah tiba masanya Raja Nuruddin hendak meninggalkan kota Madinah, beliau memberi taklimat terakhir kepada penduduk Madinah akan kejahatan dan dendam orang Yahudi terhadap Islam, dendam orang Yahudi terhadap Islam akan berterusan. Raja Nuruddin pun kembali ke Mosul dengan diiringi doa dan air mata oleh sekalian rakyat yang mencintainya.
Al-Imam Muhammad Aidid bin Ali Shohib Hauthah
Al-Imam Muhammad Aidid bin Ali Shohib Hauthah
Susun galur silsilahnya adalah :
Al Imam Muhammad Shohib 'Aidid bin Ali Shohib Hautha bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Faqih bin Abdurrahman bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi' Qasam........... Rasulullah Muhammad S.A.W.
Naqib dan Munsib.
Di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib.
Munsib merupakan perluasan dari tugas 'Naqib' yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang 'naqib' adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika terpilih menjaga 'naqib', beliau mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya:
1. Kepala keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin.
2. Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu.
3. Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan.
Setelah Syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan 'naqib' dipegang oleh Syekh Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, Syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus, Sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, Sayid Zainal Abidin Alaydrus.
Menurut Syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya 'Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad' berkata: "Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya 'naqib' yang dipilih di antara mereka". Naqib dibagi menjadi dua, yaitu:
Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas:
1. Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga
2. Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim
3. Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama.
4. Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali.
Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas:
1. Menjaga silsilah keturunan suatu kaum
2. Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang.
3. Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal.
4. Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya.
5. Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik.
6. Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama.
7. Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya.
8. Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati
9. Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya.
10. Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu'.
11. Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
12. Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan.
Dewan naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari'at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dari waktu ke waktu tugas 'naqib' semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu 'naqib' jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas 'naqib' tersebut, maka terbentuklah 'munsib'. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagaian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala' Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.
Al Imam Muhammad Shohib 'Aidid ini adalah generasi ke 23 dari Rasulullah Muhammad S.A.W.
Asal Muasal Gelarnya
Gelar yang disandangnya karena beliau adalah orang yang pertama tinggal dilembah Aidid yang tidak berpenduduk disebut “ Wadi Aidid “, yaitu lembah yang terletak di daerah pegunungan sebelah barat daya kota Tarim, Hadramaut (Yaman) dan mendirikan sebuah Masjid untuk tempat beribadah dan beruzlah (mengasingkan diri) dari keramaian.
Penduduk disekitar lembah tersebut mengangkat Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh sebagai Penguasa Lembah Aidid dengan gelar Muhammad Maula Aidid . Maula berarti Penguasa.
Al-Imam Muhammad Maula Aidid pernah ditanya oleh beberapa orang “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah Masjid yang juga dipakai untuk shalat Jum’at, sedangkan di lembah ini tak ada penghuninya ? “. Lalu beliau menjawab “ nanti akan datang suatu zaman dimana zaman tersebut banyak sekali Umat yang datang kelembah ini, datang dan bertabaruk.
Alhabib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pada kesempatan ziarah di Zambal, menceritakan ucapan Al-Imam Muhammad Maula Aidid tersebut dihadapan murid-muridnya, kemudian ia berkata didepan maqam Al-Imam Muhammad Maula Aidid “ Wahai Imam kami, semua yang hadir dihadapanmu ini menjadi saksi akan ucapanmu ini “.
Al-Imam Muhammad Maula Aidid dilahirkan di kota Tarim sekitar tahun 754 H/ 1353 M , istrinya bernama Syarifah Mariam binti Hasan bin Alfaqih Ahmad as Syahid seorang yang sholehah dan zuhud. Dikarunia 6 orang anak lelaki, yaitu Ahmad Al-Akbar, Abdurahman, Abdullah, Ali, Alwi dan Alfaqih Ahmad dan 2 orang anak pewrempuan yaitu Bahiyah(Ummu Aulad Muhammad bin Abdurrahman Bil Faqih dan Alwiyah(Ummu Aulad Abdurrahman bin Umar Baraqbah). Dari keenam orang anaknya hanya tiga orang yang melanjutkan keturunannya, yaitu Abdullah, Abdurrahman dan Ali.
Abdullah dan Abdurrahman mendapat gelar Bafaqih yang kemudian menjadi leluhur “Bafaqih”. Diberi gelar Bafaqih karena Beliau alim dalam ilmu fiqih sebagaimana ayahnya dikenal masyarakat sebagai seorang ahli ilmu fiqih. Sedangkan anaknya yang lain yang bernama Ali gelarnya tetap Aidid yang kemudian menjadi leluhur “ Aidid “.
Guru gurunya
Waliyullah Muhammad Maula Aidid seorang Imam besar pada zamannya dan hafal Al-Qur’an sejak usia muda. Guru-Guru beliau :
1. Syech Muhammad bin Hakam Baqusyair, di Qasam
2. Al-Faqih Abdullah bin Fadhal Bolohaj
3. Al-Muqaddam Al-Tsani Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah. Beliau belajar kepadanya 20 tahun.
4. Al-Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail
5. Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khatib
6. Anak-anak dari Al-Imam Abdurrahman Assegaf
7. Al-Imam Muhammad Maula Dawilah (berdasarkan kitab Al-Ghurror)
Murid-muridnya :
1. Abdullah Alaydrus bin Abubakar Assakran
2. Ali bin Abubakar Assakran
3. Muhammad bin Ahmad Bafadhaj
4. Muhammad bin Ahmad Bajarash
5. Umar bin Abdurrahman Shahib Al-Hamra
6. Muhammad bin Ali bin Alwi Al-Khirid (Shahib kitab Al-Ghurror)
7. Anak-anak belaiu.
Ke Waliannya serta sifat sifat Mulainya
Dalam Kitab Al-Ghurror halaman 358 Diceritakan oleh Alfaqih Ali bin Abdurahman Al-Khatib :
Aku bermaksud mendatangi Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid dari rumahnya ke Wadi, tidak aku temukan beliau disana. Maka ketika aku tengah berada di Wadi tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara gemericik air di selah bukit, padahal tidak ada awan mendung ataupun hujan. Maka aku berniat mendekat untuk menjawab rasa penasaranku terhadap bunyi tadi yang datangnya dari Wadi. Seketika aku melihat Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid sedang duduk dan air yang muncrat dari celah-celah bukit mendatanginya. Lalu Muhammad bin Ali Shohib Aidid menyuruh untuk aku duduk. Lalu aku mengambil tempat untuk minum air tersebut. Setelah itu aku mandi dan berwudlu . Selesai itu kami berdua meninggalkan Wadi . Setelah sampai dirumah , keluargaku bertanya : “ Siapa yang telah menggosokkan Ja’faron ditubuhmu ? “. Aku menjawab tidak ada yang menggosokkan Ja’faron ketubuhku. Keluargaku berkata : “Ja’faron itu tercium dari badan dan bajumu !”. Maka aku menjawab beberapa saat yang lalu aku mandi dan mencuci bajuku bersama Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid. Saat itu juga aku bersihkan harum ja’faron itu dengan air dan tanah, tetapi harumnya tidak bisa hilang hingga waktu yang lama.
Dalam Kisah Al-Masra Al-Rawi Jilid I hal 399 diceritakan
Bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid banyak membaca Al-Qur’an disetiap waktu terutama surat Al-Ikhlas. Beliau adalah orang yang zuhud . Beliau memandang dunia hanya sebagai bayangan yang cepat berlalu. Banyak fakir miskin dan tamu yang datang kepadanya dengan berbagai keperluan, dan beliau selalu memenuhinya. Ahklaknya lebih lembut dari tiupan angin. Beliau dikuburkan di pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.
Menurut kisah Syarh al-Ainiyah hal.206
Tertulis bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid mendawamkan bacaan surat Al-ikhlas antara shalat Maghrib dan Isya sebanyak 3000 kali.
Waliyyullah Muhammad Maula Aidid wafat di kota Tarim pada tahun 862 H/1458 M. Dimakamkan di Pemakaman Zambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.
Ayah beliau Ali Shahib Al-Hauthoh, wafat tahun 830 Hijriyyah Gelar Shahib Al-Hauthoh yang disandangnya karena beliau tinggal di Hauthoh yang terletak sebelah barat kota Tarim, Hadramaut.
Susun galur silsilahnya adalah :
Al Imam Muhammad Shohib 'Aidid bin Ali Shohib Hautha bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Faqih bin Abdurrahman bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi' Qasam........... Rasulullah Muhammad S.A.W.
Naqib dan Munsib.
Di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib.
Munsib merupakan perluasan dari tugas 'Naqib' yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang 'naqib' adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika terpilih menjaga 'naqib', beliau mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya:
1. Kepala keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin.
2. Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu.
3. Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan.
Setelah Syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan 'naqib' dipegang oleh Syekh Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, Syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus, Sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, Sayid Zainal Abidin Alaydrus.
Menurut Syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya 'Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad' berkata: "Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya 'naqib' yang dipilih di antara mereka". Naqib dibagi menjadi dua, yaitu:
Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas:
1. Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga
2. Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim
3. Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama.
4. Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali.
Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas:
1. Menjaga silsilah keturunan suatu kaum
2. Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang.
3. Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal.
4. Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya.
5. Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik.
6. Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama.
7. Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya.
8. Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati
9. Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya.
10. Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu'.
11. Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
12. Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan.
Dewan naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari'at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dari waktu ke waktu tugas 'naqib' semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu 'naqib' jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas 'naqib' tersebut, maka terbentuklah 'munsib'. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagaian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala' Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.
Al Imam Muhammad Shohib 'Aidid ini adalah generasi ke 23 dari Rasulullah Muhammad S.A.W.
Asal Muasal Gelarnya
Gelar yang disandangnya karena beliau adalah orang yang pertama tinggal dilembah Aidid yang tidak berpenduduk disebut “ Wadi Aidid “, yaitu lembah yang terletak di daerah pegunungan sebelah barat daya kota Tarim, Hadramaut (Yaman) dan mendirikan sebuah Masjid untuk tempat beribadah dan beruzlah (mengasingkan diri) dari keramaian.
Penduduk disekitar lembah tersebut mengangkat Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh sebagai Penguasa Lembah Aidid dengan gelar Muhammad Maula Aidid . Maula berarti Penguasa.
Al-Imam Muhammad Maula Aidid pernah ditanya oleh beberapa orang “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah Masjid yang juga dipakai untuk shalat Jum’at, sedangkan di lembah ini tak ada penghuninya ? “. Lalu beliau menjawab “ nanti akan datang suatu zaman dimana zaman tersebut banyak sekali Umat yang datang kelembah ini, datang dan bertabaruk.
Alhabib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pada kesempatan ziarah di Zambal, menceritakan ucapan Al-Imam Muhammad Maula Aidid tersebut dihadapan murid-muridnya, kemudian ia berkata didepan maqam Al-Imam Muhammad Maula Aidid “ Wahai Imam kami, semua yang hadir dihadapanmu ini menjadi saksi akan ucapanmu ini “.
Al-Imam Muhammad Maula Aidid dilahirkan di kota Tarim sekitar tahun 754 H/ 1353 M , istrinya bernama Syarifah Mariam binti Hasan bin Alfaqih Ahmad as Syahid seorang yang sholehah dan zuhud. Dikarunia 6 orang anak lelaki, yaitu Ahmad Al-Akbar, Abdurahman, Abdullah, Ali, Alwi dan Alfaqih Ahmad dan 2 orang anak pewrempuan yaitu Bahiyah(Ummu Aulad Muhammad bin Abdurrahman Bil Faqih dan Alwiyah(Ummu Aulad Abdurrahman bin Umar Baraqbah). Dari keenam orang anaknya hanya tiga orang yang melanjutkan keturunannya, yaitu Abdullah, Abdurrahman dan Ali.
Abdullah dan Abdurrahman mendapat gelar Bafaqih yang kemudian menjadi leluhur “Bafaqih”. Diberi gelar Bafaqih karena Beliau alim dalam ilmu fiqih sebagaimana ayahnya dikenal masyarakat sebagai seorang ahli ilmu fiqih. Sedangkan anaknya yang lain yang bernama Ali gelarnya tetap Aidid yang kemudian menjadi leluhur “ Aidid “.
Guru gurunya
Waliyullah Muhammad Maula Aidid seorang Imam besar pada zamannya dan hafal Al-Qur’an sejak usia muda. Guru-Guru beliau :
1. Syech Muhammad bin Hakam Baqusyair, di Qasam
2. Al-Faqih Abdullah bin Fadhal Bolohaj
3. Al-Muqaddam Al-Tsani Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah. Beliau belajar kepadanya 20 tahun.
4. Al-Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail
5. Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khatib
6. Anak-anak dari Al-Imam Abdurrahman Assegaf
7. Al-Imam Muhammad Maula Dawilah (berdasarkan kitab Al-Ghurror)
Murid-muridnya :
1. Abdullah Alaydrus bin Abubakar Assakran
2. Ali bin Abubakar Assakran
3. Muhammad bin Ahmad Bafadhaj
4. Muhammad bin Ahmad Bajarash
5. Umar bin Abdurrahman Shahib Al-Hamra
6. Muhammad bin Ali bin Alwi Al-Khirid (Shahib kitab Al-Ghurror)
7. Anak-anak belaiu.
Ke Waliannya serta sifat sifat Mulainya
Dalam Kitab Al-Ghurror halaman 358 Diceritakan oleh Alfaqih Ali bin Abdurahman Al-Khatib :
Aku bermaksud mendatangi Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid dari rumahnya ke Wadi, tidak aku temukan beliau disana. Maka ketika aku tengah berada di Wadi tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara gemericik air di selah bukit, padahal tidak ada awan mendung ataupun hujan. Maka aku berniat mendekat untuk menjawab rasa penasaranku terhadap bunyi tadi yang datangnya dari Wadi. Seketika aku melihat Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid sedang duduk dan air yang muncrat dari celah-celah bukit mendatanginya. Lalu Muhammad bin Ali Shohib Aidid menyuruh untuk aku duduk. Lalu aku mengambil tempat untuk minum air tersebut. Setelah itu aku mandi dan berwudlu . Selesai itu kami berdua meninggalkan Wadi . Setelah sampai dirumah , keluargaku bertanya : “ Siapa yang telah menggosokkan Ja’faron ditubuhmu ? “. Aku menjawab tidak ada yang menggosokkan Ja’faron ketubuhku. Keluargaku berkata : “Ja’faron itu tercium dari badan dan bajumu !”. Maka aku menjawab beberapa saat yang lalu aku mandi dan mencuci bajuku bersama Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid. Saat itu juga aku bersihkan harum ja’faron itu dengan air dan tanah, tetapi harumnya tidak bisa hilang hingga waktu yang lama.
Dalam Kisah Al-Masra Al-Rawi Jilid I hal 399 diceritakan
Bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid banyak membaca Al-Qur’an disetiap waktu terutama surat Al-Ikhlas. Beliau adalah orang yang zuhud . Beliau memandang dunia hanya sebagai bayangan yang cepat berlalu. Banyak fakir miskin dan tamu yang datang kepadanya dengan berbagai keperluan, dan beliau selalu memenuhinya. Ahklaknya lebih lembut dari tiupan angin. Beliau dikuburkan di pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.
Menurut kisah Syarh al-Ainiyah hal.206
Tertulis bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid mendawamkan bacaan surat Al-ikhlas antara shalat Maghrib dan Isya sebanyak 3000 kali.
Waliyyullah Muhammad Maula Aidid wafat di kota Tarim pada tahun 862 H/1458 M. Dimakamkan di Pemakaman Zambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.
Ayah beliau Ali Shahib Al-Hauthoh, wafat tahun 830 Hijriyyah Gelar Shahib Al-Hauthoh yang disandangnya karena beliau tinggal di Hauthoh yang terletak sebelah barat kota Tarim, Hadramaut.
Al Qutb Al Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Asseggaf
Al Qutb Al Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Asseggaf
Al Qutb Al Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Asseggaf
Susun galur nasabnya adalah sbb :
Al Imam Al Qutb Abdurrahman Asseggaff bn Muhammad Mauladawilah bn Ali bn Alwi Al Qhoyyur bin Muhammad Faqih Muqaddam bn Ali bn Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi' Qasam....hingga Ke Rasulullah SAW.
Al Imam Al Qutb Abdurrahman Asseggaff adalah generasi ke 22 dari Rasulullah Muhammad S.A.W.
Masa menuntut Ilmu dan guru gurunya
Sejak kecil ia telah mendalami berbagai macam ilmu dan menyelami berbagai macam pengetahuan, baik yang berorientasi aql (akal) ataupun naql (referensi agama). Ia menghafal Al-Qur’an dari Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Khatib, sekaligus mempelajari ilmu Tajwid dan Qira’at. Ia juga berguru kepada Asy-Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Basyakil, Syeikh Muhammad ibnu Abi Bakar Ba’ibad, Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Ka’ban, Syeikh Ali Ibnu Salim Ar-Rakhilah, Syeikh Abu Bakar Ibnu Isa Bayazid, Syeikh Umar ibnu Sa’id ibnu Kaban, Syeikh Imam Abdullah ibnu Thohir Addu’ani dan lain-lain.
Dia mempelajari kitab At-Tanbih dan Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq. Ia juga menggemari kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Al ’Awarif karya As-Samhudi. Tak ketinggalan ia juga mempelajari kitab-kitab karangan Imam Al-Ghazali seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashoh dan Ihya Ulumiddin. Serta kitab karangan Imam Ar-Rofi’iy seperti Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz danAl-Muharror.
Arti gelar dan julukkan yang di sandangnya.
Julukan As-Saqqaf berasal dari kata as-saqfu (atap), yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya. Itu menandakan akan ketinggian ilmu dan maqam yang tinggi, bahkan melampaui ulama-ulama besar di jamannya. Dia juga mendapat julukan Syeikh Wadi Al-Ahqaf dan Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Sejak itu, gelar Assaqqaf diberikan pada beliau dan seluruh keturunannya.
Ibadah dan sebagian amalanya.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf selalu membaca Al-Qur’an setiap siang dan malamnya dengan 8 kali khataman, 4 di waktu malam dan 4 di waktu siang. Yang di waktu siang beliau membacanya 2 kali khatam dari antara setelah Subuh sampai Dhuhur, 1 kali khatam dari antara Dhuhur sampai Ashar (itu dibacanya dalam 2 rakaat shalat), dan 1 kali khataman lagi setelah shalat Ashar.
Setiap kali menanam pohon kurma, beliau membacakan surat Yasin untuk setiap pohonnya. Setelah itu dibacakan lagi 1 khataman Al-Qur’an untuk setiap pohonnya. Setelah itu baru diberikan pohon-pohon kurma itu kepada putra-putrinya.
Wali Yang Bertabur Karamah dan perjalanan singkat kehidupanya
Ulama dari Tarim, Hadramaut ini dikenal sebagai wali yang bertabur karamah. Salah satunya adalah sering dilihat banyak orang sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ulama ini juga dikenal sebagai ulama yang kuat bermujahadah. Beliau pernah tidak tidur selama 33 tahun. Dikabarkan, dia sering bertemu dengan Nabi SAW dan sahabatnya dalam keadaan terjaga setiap malam Jum’at, Senin dan Kamis, terus-menerus.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf adalah seorang ulama besar, wali yang agung, imam panutan dan guru besar bagi para auliya al-‘arifin. Ia dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut pada 739/1338 H. Ibunya bernama Aisyah binti Abi Bakar Al Wari’ ibnu Ahmad Al-Faqih Al-Muqaddam.
Pada suatu hari, salah seorang santri yang bernama Muhammad bin Hassan Jamalullail saat di masjid merasa sangat lapar sekali. Waktu itu, sang santri malu untuk mengatakan tentang keadaan perutnya yang makin keroncongan. Rupanya sang guru itu tahu akan keadaan santrinya. Ia kemudian memanggil sang santri untuk naik ke atas loteng masjid. Anehnya, di hadapan beliau sudah terhidang makanan yang lezat.
“Dari manakah mendapatkan makanan itu?” tanya Muhammad bin Hassan Jamalullail.
“Hidangan ini kudapati dari seorang wanita,” jawabnya dengan enteng. Padahal, sepengetahuan sang santri, tidak seorangpun yang masuk dalam masjid.
Bila malam telah tiba, orang yang melihatnya seperti habis melakukan perjalanan panjang di malam hari, dikarenakan panjangnya shalat malam yang beliau lakukan. Bersama sahabatnya, Fadhl, pernah melakukan ibadah di dekat makam Nabiyallah Hud AS berbulan-bulan. Dia dan sahabatnya itu terjalin persahabatan yang erat. Mereka berdua bersama-sama belajar dan saling membahas ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Banyak auliyaillah dan para sholihin mengagungkan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Ia tidaklah memutuskan suatu perkara terhadap seseorang, kecuali setelah mendengar isyarat dari Yang Maha Benar untuk melakukan sesuatu. Berkata As-Sayyid Al-Jalil Muhammad bin Abubakar bin Ahmad Ba’alawy, “Ketika Habib Abdurrahman telah memutuskan suatu perkara bagiku, maka hilanglah seketika dariku rasa cinta dunia dan sifat-sifat yang tercela, berganti dengan sifat-sifat yang terpuji.”
Sebagaimana para auliya di Hadramaut, ia juga suka mengasingkan diri untuk beribadah di lorong bukit An-Nu’air dan juga sekaligus berziarah ke makam Nabi Hud AS. Seorang muridnya yang lain bernama Syeikh Abdurrahim bin Ali Khatib menyatakan,“Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah ke makam Nabi Hud a.s. bersama Habib Abdurrahman, beliau berkata, “Kami tidak akan shalat Maghrib kecuali di Fartir Rabi’. Kami sangat heran sekali dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah SWT. Tepat waktu kami tiba di Fartir Rabi’, matahari mulai terbenam. Sehingga kami yakin bahwa dengan karamahnya sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau sampai di tempat yang ditujunya.”
Diriwayatkan pula pada suatu hari beliau sedang duduk di depan murid-murid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka: “Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini”. Apa yang diucapkan oleh beliau itu terjadi seperti yang dikatakan.
Suatu waktu Habib Abdurrahman As-Saqqaf mengunjungi salah seorang isterinya yang berada di suatu desa, mengatakan pada isterinya yang sedang hamil, ”Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya dengan kafan ini.”
Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf kemudian memberikan sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya.
Pernah suatu ketika, ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang lain ada yang beristighatsah dengan menyebut nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Orang yang menyebutkan nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf itu bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang yang kebetulan tidak percaya pada Habib Abdurraman As-Saqqaf.Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya dengan Habib Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa. Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan menyebut Habib Abdurrahman As-Saqqaf, yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar jika memang diselamatkan oleh Allah SWT dalam perjalanan ini ia akan patuh dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Belum selesaimenyebut nama beliau tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air. Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya.
Karamah yang lain dari Habib Abdurrahman As-Saqqaf, juga dibuktikan oleh salah seorang pelayan rumahnya. Salah seorang pelayan itu suatu ketika di tengah perjalanan dihadang oleh perampok. Kendaraannya dan perbekalannya kemudian dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa takut itu segera beristighatsah menyebut nama Habib Abdurrahman untuk minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kendaraan dan perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun. Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang dirampas kendaraan dan perbekalannya.
“Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi,” kata sang perampok.
Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu pelayan itu bertemu dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf, beliau berkata, “Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, karena kami juga mendengar suara perlahan.”.
Beliau wafat di kota Tarim pada hari Kamis, 23 Sya’ban tahun 819 H /15 Oktober 1416 M. Ketika mereka hendak memalingkan wajah beliau ke kiblat, wajah tersebut berpaling sendiri ke kiblat. Jasad beliau disemayamkan pada pagi hari Jum’at, di pekuburan Zambal,Tarim. Beliau meninggalkan 13 putra dan 7 putri yaitu :
1. As Syech Ahmad wafat di Tarim tahun 829 H.
2. As Syech Al Imam Umar Al Muhdhor Al Akbar wafat di Tarim tahun 833 H.
3I. As Syech Al Imam Muhammad wafat di Tarim 826 H
4. As Syech Al Imam Ja'far
5. As Syech Al Imam Hasan Al Majzdub wafat tahun 806 H
6. As Syech Al Imam Syech wafat di Tarim 869 H
7. As Syech Al Imam Abubakar As Sakran wafat di Tarim 821 H
8. As Syech Al Imam Abdullah wafat tahun 857 H
9. As Syech Al Imam Agil wafat di Tarim tahun 871 H
10. As Syech Al Imam Ibrahim wafat di Tarim 875 H
11. As Syech Al Imam Ali wafat di Tarim tahun 840 H
12. As Syech Al Imam Alwi wafat di Tarim tahun 826 H
13. As Syech Al Imam Husin wafat di Tarim tahun 892 H
14. Syarifah Maryam ibu dari As Syech Al Imam Abubakar Al Jufrie
15. Syarifah Fathimah ibu dari As Syech Muhammad b Ahmad b Hasan Al Wara'.
16. Syarifah Bahiyah
17. Syarifah Asma' saudara kandung As Syech Al Imam Husin
18. Syarifah Aisyah ibunda dari As Syech Abdurraman Maulachela b Abdullah b Alwi b Muhammad Mauladawilah.
19. Syarifah Alawiyah Al Kubro
20. Syarifah Alawiyah As Sughro ,ibunda dari putra-putra As Syech Muhammad Ar Rakhilah b Umar b Ali Ba'mar.
Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy
Susun galur nasabnya adalah sbb :
Al Imam Al Qutb Abdurrahman Asseggaff bn Muhammad Mauladawilah bn Ali bn Alwi Al Qhoyyur bin Muhammad Faqih Muqaddam bn Ali bn Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi' Qasam....hingga Ke Rasulullah SAW.
Al Imam Al Qutb Abdurrahman Asseggaff adalah generasi ke 22 dari Rasulullah Muhammad S.A.W.
Masa menuntut Ilmu dan guru gurunya
Sejak kecil ia telah mendalami berbagai macam ilmu dan menyelami berbagai macam pengetahuan, baik yang berorientasi aql (akal) ataupun naql (referensi agama). Ia menghafal Al-Qur’an dari Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Khatib, sekaligus mempelajari ilmu Tajwid dan Qira’at. Ia juga berguru kepada Asy-Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Basyakil, Syeikh Muhammad ibnu Abi Bakar Ba’ibad, Syeikh Muhammad ibnu Sa’id Ka’ban, Syeikh Ali Ibnu Salim Ar-Rakhilah, Syeikh Abu Bakar Ibnu Isa Bayazid, Syeikh Umar ibnu Sa’id ibnu Kaban, Syeikh Imam Abdullah ibnu Thohir Addu’ani dan lain-lain.
Dia mempelajari kitab At-Tanbih dan Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq. Ia juga menggemari kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dan Al ’Awarif karya As-Samhudi. Tak ketinggalan ia juga mempelajari kitab-kitab karangan Imam Al-Ghazali seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashoh dan Ihya Ulumiddin. Serta kitab karangan Imam Ar-Rofi’iy seperti Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz danAl-Muharror.
Arti gelar dan julukkan yang di sandangnya.
Julukan As-Saqqaf berasal dari kata as-saqfu (atap), yang berarti atapnya para wali dan orang-orang shalih pada masanya. Itu menandakan akan ketinggian ilmu dan maqam yang tinggi, bahkan melampaui ulama-ulama besar di jamannya. Dia juga mendapat julukan Syeikh Wadi Al-Ahqaf dan Al-Muqaddam Ats-Tsani Lis Saadaati Ba’alwi (Al-Muqaddam yang kedua setelah Al-Faqih Al-Muqaddam). Sejak itu, gelar Assaqqaf diberikan pada beliau dan seluruh keturunannya.
Ibadah dan sebagian amalanya.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf selalu membaca Al-Qur’an setiap siang dan malamnya dengan 8 kali khataman, 4 di waktu malam dan 4 di waktu siang. Yang di waktu siang beliau membacanya 2 kali khatam dari antara setelah Subuh sampai Dhuhur, 1 kali khatam dari antara Dhuhur sampai Ashar (itu dibacanya dalam 2 rakaat shalat), dan 1 kali khataman lagi setelah shalat Ashar.
Setiap kali menanam pohon kurma, beliau membacakan surat Yasin untuk setiap pohonnya. Setelah itu dibacakan lagi 1 khataman Al-Qur’an untuk setiap pohonnya. Setelah itu baru diberikan pohon-pohon kurma itu kepada putra-putrinya.
Wali Yang Bertabur Karamah dan perjalanan singkat kehidupanya
Ulama dari Tarim, Hadramaut ini dikenal sebagai wali yang bertabur karamah. Salah satunya adalah sering dilihat banyak orang sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ulama ini juga dikenal sebagai ulama yang kuat bermujahadah. Beliau pernah tidak tidur selama 33 tahun. Dikabarkan, dia sering bertemu dengan Nabi SAW dan sahabatnya dalam keadaan terjaga setiap malam Jum’at, Senin dan Kamis, terus-menerus.
Habib Abdurrahman As-Saqqaf adalah seorang ulama besar, wali yang agung, imam panutan dan guru besar bagi para auliya al-‘arifin. Ia dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut pada 739/1338 H. Ibunya bernama Aisyah binti Abi Bakar Al Wari’ ibnu Ahmad Al-Faqih Al-Muqaddam.
Pada suatu hari, salah seorang santri yang bernama Muhammad bin Hassan Jamalullail saat di masjid merasa sangat lapar sekali. Waktu itu, sang santri malu untuk mengatakan tentang keadaan perutnya yang makin keroncongan. Rupanya sang guru itu tahu akan keadaan santrinya. Ia kemudian memanggil sang santri untuk naik ke atas loteng masjid. Anehnya, di hadapan beliau sudah terhidang makanan yang lezat.
“Dari manakah mendapatkan makanan itu?” tanya Muhammad bin Hassan Jamalullail.
“Hidangan ini kudapati dari seorang wanita,” jawabnya dengan enteng. Padahal, sepengetahuan sang santri, tidak seorangpun yang masuk dalam masjid.
Bila malam telah tiba, orang yang melihatnya seperti habis melakukan perjalanan panjang di malam hari, dikarenakan panjangnya shalat malam yang beliau lakukan. Bersama sahabatnya, Fadhl, pernah melakukan ibadah di dekat makam Nabiyallah Hud AS berbulan-bulan. Dia dan sahabatnya itu terjalin persahabatan yang erat. Mereka berdua bersama-sama belajar dan saling membahas ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Banyak auliyaillah dan para sholihin mengagungkan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Ia tidaklah memutuskan suatu perkara terhadap seseorang, kecuali setelah mendengar isyarat dari Yang Maha Benar untuk melakukan sesuatu. Berkata As-Sayyid Al-Jalil Muhammad bin Abubakar bin Ahmad Ba’alawy, “Ketika Habib Abdurrahman telah memutuskan suatu perkara bagiku, maka hilanglah seketika dariku rasa cinta dunia dan sifat-sifat yang tercela, berganti dengan sifat-sifat yang terpuji.”
Sebagaimana para auliya di Hadramaut, ia juga suka mengasingkan diri untuk beribadah di lorong bukit An-Nu’air dan juga sekaligus berziarah ke makam Nabi Hud AS. Seorang muridnya yang lain bernama Syeikh Abdurrahim bin Ali Khatib menyatakan,“Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah ke makam Nabi Hud a.s. bersama Habib Abdurrahman, beliau berkata, “Kami tidak akan shalat Maghrib kecuali di Fartir Rabi’. Kami sangat heran sekali dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah SWT. Tepat waktu kami tiba di Fartir Rabi’, matahari mulai terbenam. Sehingga kami yakin bahwa dengan karamahnya sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau sampai di tempat yang ditujunya.”
Diriwayatkan pula pada suatu hari beliau sedang duduk di depan murid-murid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka: “Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini”. Apa yang diucapkan oleh beliau itu terjadi seperti yang dikatakan.
Suatu waktu Habib Abdurrahman As-Saqqaf mengunjungi salah seorang isterinya yang berada di suatu desa, mengatakan pada isterinya yang sedang hamil, ”Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya dengan kafan ini.”
Habib Abdurrahman bin Muhammad As-Saqqaf kemudian memberikan sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya.
Pernah suatu ketika, ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang lain ada yang beristighatsah dengan menyebut nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Orang yang menyebutkan nama Habib Abdurrahman As-Saqqaf itu bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang yang kebetulan tidak percaya pada Habib Abdurraman As-Saqqaf.Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya dengan Habib Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa. Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan menyebut Habib Abdurrahman As-Saqqaf, yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar jika memang diselamatkan oleh Allah SWT dalam perjalanan ini ia akan patuh dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf. Belum selesaimenyebut nama beliau tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air. Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya.
Karamah yang lain dari Habib Abdurrahman As-Saqqaf, juga dibuktikan oleh salah seorang pelayan rumahnya. Salah seorang pelayan itu suatu ketika di tengah perjalanan dihadang oleh perampok. Kendaraannya dan perbekalannya kemudian dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa takut itu segera beristighatsah menyebut nama Habib Abdurrahman untuk minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kendaraan dan perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun. Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang dirampas kendaraan dan perbekalannya.
“Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi,” kata sang perampok.
Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu pelayan itu bertemu dengan Habib Abdurrahman As-Saqqaf, beliau berkata, “Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, karena kami juga mendengar suara perlahan.”.
Beliau wafat di kota Tarim pada hari Kamis, 23 Sya’ban tahun 819 H /15 Oktober 1416 M. Ketika mereka hendak memalingkan wajah beliau ke kiblat, wajah tersebut berpaling sendiri ke kiblat. Jasad beliau disemayamkan pada pagi hari Jum’at, di pekuburan Zambal,Tarim. Beliau meninggalkan 13 putra dan 7 putri yaitu :
1. As Syech Ahmad wafat di Tarim tahun 829 H.
2. As Syech Al Imam Umar Al Muhdhor Al Akbar wafat di Tarim tahun 833 H.
3I. As Syech Al Imam Muhammad wafat di Tarim 826 H
4. As Syech Al Imam Ja'far
5. As Syech Al Imam Hasan Al Majzdub wafat tahun 806 H
6. As Syech Al Imam Syech wafat di Tarim 869 H
7. As Syech Al Imam Abubakar As Sakran wafat di Tarim 821 H
8. As Syech Al Imam Abdullah wafat tahun 857 H
9. As Syech Al Imam Agil wafat di Tarim tahun 871 H
10. As Syech Al Imam Ibrahim wafat di Tarim 875 H
11. As Syech Al Imam Ali wafat di Tarim tahun 840 H
12. As Syech Al Imam Alwi wafat di Tarim tahun 826 H
13. As Syech Al Imam Husin wafat di Tarim tahun 892 H
14. Syarifah Maryam ibu dari As Syech Al Imam Abubakar Al Jufrie
15. Syarifah Fathimah ibu dari As Syech Muhammad b Ahmad b Hasan Al Wara'.
16. Syarifah Bahiyah
17. Syarifah Asma' saudara kandung As Syech Al Imam Husin
18. Syarifah Aisyah ibunda dari As Syech Abdurraman Maulachela b Abdullah b Alwi b Muhammad Mauladawilah.
19. Syarifah Alawiyah Al Kubro
20. Syarifah Alawiyah As Sughro ,ibunda dari putra-putra As Syech Muhammad Ar Rakhilah b Umar b Ali Ba'mar.
Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy
Langgan:
Catatan (Atom)