Catatan Popular

Sabtu, 14 Mei 2011

Al-Imam Muhammad Aidid bin Ali Shohib Hauthah

Al-Imam Muhammad Aidid bin Ali Shohib Hauthah

Susun galur silsilahnya adalah :
Al Imam Muhammad Shohib 'Aidid bin Ali Shohib Hautha bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Faqih bin Abdurrahman bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbat bin Ali Kholi' Qasam........... Rasulullah Muhammad S.A.W.
Naqib dan Munsib.
Di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib.
Munsib merupakan perluasan dari tugas 'Naqib' yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang 'naqib' adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika terpilih menjaga 'naqib', beliau mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya:
1. Kepala keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin.
2. Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu.
3. Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan.
Setelah Syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan 'naqib' dipegang oleh Syekh Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, Syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus, Sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, Sayid Zainal Abidin Alaydrus.
Menurut Syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya 'Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad' berkata: "Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya 'naqib' yang dipilih di antara mereka". Naqib dibagi menjadi dua, yaitu:
Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas:
1. Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga
2. Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim
3. Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama.
4. Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali.
Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas:
1. Menjaga silsilah keturunan suatu kaum
2. Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang.
3. Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal.
4. Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya.
5. Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik.
6. Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama.
7. Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya.
8. Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati
9. Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya.
10. Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu'.
11. Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
12. Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan.
Dewan naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari'at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dari waktu ke waktu tugas 'naqib' semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu 'naqib' jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas 'naqib' tersebut, maka terbentuklah 'munsib'. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagaian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala' Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.

Al Imam Muhammad Shohib 'Aidid ini adalah generasi ke 23 dari Rasulullah Muhammad S.A.W.

Asal Muasal Gelarnya
Gelar yang disandangnya karena beliau adalah orang yang pertama tinggal dilembah Aidid yang tidak berpenduduk disebut “ Wadi Aidid “, yaitu lembah yang terletak di daerah pegunungan sebelah barat daya kota Tarim, Hadramaut (Yaman) dan mendirikan sebuah Masjid untuk tempat beribadah dan beruzlah (mengasingkan diri) dari keramaian.
Penduduk disekitar lembah tersebut mengangkat Al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Al-Hauthoh sebagai Penguasa Lembah Aidid dengan gelar Muhammad Maula Aidid . Maula berarti Penguasa.
Al-Imam Muhammad Maula Aidid pernah ditanya oleh beberapa orang “Wahai Imam mengapa engkau mendirikan sebuah Masjid yang juga dipakai untuk shalat Jum’at, sedangkan di lembah ini tak ada penghuninya ? “. Lalu beliau menjawab “ nanti akan datang suatu zaman dimana zaman tersebut banyak sekali Umat yang datang kelembah ini, datang dan bertabaruk.
Alhabib Umar bin Muhammad Bin Hafidz pada kesempatan ziarah di Zambal, menceritakan ucapan Al-Imam Muhammad Maula Aidid tersebut dihadapan murid-muridnya, kemudian ia berkata didepan maqam Al-Imam Muhammad Maula Aidid “ Wahai Imam kami, semua yang hadir dihadapanmu ini menjadi saksi akan ucapanmu ini “.
Al-Imam Muhammad Maula Aidid dilahirkan di kota Tarim sekitar tahun 754 H/ 1353 M , istrinya bernama Syarifah Mariam binti Hasan bin Alfaqih Ahmad as Syahid seorang yang sholehah dan zuhud. Dikarunia 6 orang anak lelaki, yaitu Ahmad Al-Akbar, Abdurahman, Abdullah, Ali, Alwi dan Alfaqih Ahmad dan 2 orang anak pewrempuan yaitu Bahiyah(Ummu Aulad Muhammad bin Abdurrahman Bil Faqih dan Alwiyah(Ummu Aulad Abdurrahman bin Umar Baraqbah). Dari keenam orang anaknya hanya tiga orang yang melanjutkan keturunannya, yaitu Abdullah, Abdurrahman dan Ali.
Abdullah dan Abdurrahman mendapat gelar Bafaqih yang kemudian menjadi leluhur “Bafaqih”. Diberi gelar Bafaqih karena Beliau alim dalam ilmu fiqih sebagaimana ayahnya dikenal masyarakat sebagai seorang ahli ilmu fiqih. Sedangkan anaknya yang lain yang bernama Ali gelarnya tetap Aidid yang kemudian menjadi leluhur “ Aidid “.

Guru gurunya
Waliyullah Muhammad Maula Aidid seorang Imam besar pada zamannya dan hafal Al-Qur’an sejak usia muda. Guru-Guru beliau :
1. Syech Muhammad bin Hakam Baqusyair, di Qasam
2. Al-Faqih Abdullah bin Fadhal Bolohaj
3. Al-Muqaddam Al-Tsani Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah. Beliau belajar kepadanya 20 tahun.
4. Al-Imam Muhammad bin Hasan Jamalullail
5. Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khatib
6. Anak-anak dari Al-Imam Abdurrahman Assegaf
7. Al-Imam Muhammad Maula Dawilah (berdasarkan kitab Al-Ghurror)
Murid-muridnya :
1. Abdullah Alaydrus bin Abubakar Assakran
2. Ali bin Abubakar Assakran
3. Muhammad bin Ahmad Bafadhaj
4. Muhammad bin Ahmad Bajarash
5. Umar bin Abdurrahman Shahib Al-Hamra
6. Muhammad bin Ali bin Alwi Al-Khirid (Shahib kitab Al-Ghurror)
7. Anak-anak belaiu.

Ke Waliannya serta sifat sifat Mulainya
Dalam Kitab Al-Ghurror halaman 358 Diceritakan oleh Alfaqih Ali bin Abdurahman Al-Khatib :
Aku bermaksud mendatangi Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid dari rumahnya ke Wadi, tidak aku temukan beliau disana. Maka ketika aku tengah berada di Wadi tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara gemericik air di selah bukit, padahal tidak ada awan mendung ataupun hujan. Maka aku berniat mendekat untuk menjawab rasa penasaranku terhadap bunyi tadi yang datangnya dari Wadi. Seketika aku melihat Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid sedang duduk dan air yang muncrat dari celah-celah bukit mendatanginya. Lalu Muhammad bin Ali Shohib Aidid menyuruh untuk aku duduk. Lalu aku mengambil tempat untuk minum air tersebut. Setelah itu aku mandi dan berwudlu . Selesai itu kami berdua meninggalkan Wadi . Setelah sampai dirumah , keluargaku bertanya : “ Siapa yang telah menggosokkan Ja’faron ditubuhmu ? “. Aku menjawab tidak ada yang menggosokkan Ja’faron ketubuhku. Keluargaku berkata : “Ja’faron itu tercium dari badan dan bajumu !”. Maka aku menjawab beberapa saat yang lalu aku mandi dan mencuci bajuku bersama Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid. Saat itu juga aku bersihkan harum ja’faron itu dengan air dan tanah, tetapi harumnya tidak bisa hilang hingga waktu yang lama.
Dalam Kisah Al-Masra Al-Rawi Jilid I hal 399 diceritakan
Bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid banyak membaca Al-Qur’an disetiap waktu terutama surat Al-Ikhlas. Beliau adalah orang yang zuhud . Beliau memandang dunia hanya sebagai bayangan yang cepat berlalu. Banyak fakir miskin dan tamu yang datang kepadanya dengan berbagai keperluan, dan beliau selalu memenuhinya. Ahklaknya lebih lembut dari tiupan angin. Beliau dikuburkan di pemakaman Jambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.
Menurut kisah Syarh al-Ainiyah hal.206
Tertulis bahwa Al-Faqih Muhammad bin Ali Shohib Aidid mendawamkan bacaan surat Al-ikhlas antara shalat Maghrib dan Isya sebanyak 3000 kali.
Waliyyullah Muhammad Maula Aidid wafat di kota Tarim pada tahun 862 H/1458 M. Dimakamkan di Pemakaman Zambal disisi kakeknya Muhammad bin Abdurrahman bin Alwi.
Ayah beliau Ali Shahib Al-Hauthoh, wafat tahun 830 Hijriyyah Gelar Shahib Al-Hauthoh yang disandangnya karena beliau tinggal di Hauthoh yang terletak sebelah barat kota Tarim, Hadramaut.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan